Deflasi Berkepanjangan: Pilih Bertahan atau Banting Setir?
Pengunjung berjalan di depan papan iklan potongan harga di pusat perbelanjaan Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat (11/10/2024). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2024, Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi sebesar 0,12 persen -M Risyal Hidayat/rwa-ANTARA FOTO
Kondisi deflasi yang dialami Indonesia selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024 menjadi tantangan berat bagi banyak sektor usaha, terutama pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Penurunan harga barang dan jasa yang dipicu oleh menurunnya daya beli masyarakat telah membuat para pengusaha harus memutar otak agar tetap bertahan.
Dalam situasi ini, merambah usaha baru atau banting setir menjadi pertimbangan yang semakin relevan bagi keberlangsungan bisnis.
Deflasi, secara sederhana, adalah fenomena penurunan harga barang dan jasa secara berkelanjutan yang sering kali diiringi dengan penurunan daya beli masyarakat.
Di Pasar Ciracas, Jakarta Timur, misalnya, penurunan jumlah pembeli mencapai 60 persen, menandakan lesunya konsumsi masyarakat akibat berkurangnya peredaran uang. Kondisi ini menyebabkan banyak pengusaha harus mengurangi jumlah pegawai, bahkan menutup usaha.
BACA JUGA:Menilik Lini Bisnis Sritex Usai Pailit
Stagnasi usaha akibat deflasi menimbulkan ancaman serius bagi kelangsungan bisnis. Ketika harga-harga barang terus turun, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan harga akan semakin murah. Hal ini menurunkan omzet dan membuat arus kas usaha menjadi sulit dikelola. Dalam situasi ini, banyak pengusaha mempertimbangkan untuk mencari peluang baru atau bahkan banting setir demi menyelamatkan bisnis.
Saat deflasi terjadi, pola belanja masyarakat juga mengalami perubahan signifikan. Pengeluaran untuk kebutuhan tersier atau yang dianggap tidak mendesak seperti barang-barang mewah atau hiburan mulai ditinggalkan. Sebaliknya, masyarakat mulai memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan sekunder (penting namun tidak mendesak), dan terutama kebutuhan pokok yakni yang penting dan mendesak, seperti pangan, kesehatan, dan tempat tinggal.
Mengidentifikasi dan memanfaatkan perubahan perilaku konsumen ini menjadi kunci bagi pengusaha yang ingin bertahan atau bahkan tumbuh.
Contoh nyata terlihat saat pandemi COVID-19 melanda. Banyak pengusaha yang banting setir dari usaha konvensional mereka ke produksi masker kain atau alat pelindung diri (APD), yang permintaannya melonjak drastis di tengah krisis. Pelaku usaha konveksi yang semula memproduksi pakaian, memanfaatkan peluang ini untuk tetap bertahan dan bahkan berkembang.
BACA JUGA:Optimisme Sepak Bola Indonesia Mendunia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024 memperlihatkan penurunan tajam dalam daya beli masyarakat. Pada September 2024, deflasi mencapai angka 0,12 persen, yang merupakan level terdalam selama lima tahun terakhir.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga menambah beban ekonomi, dengan lebih dari 53.000 pekerja kehilangan pekerjaan hingga Oktober 2024. PHK ini memaksa banyak keluarga untuk beralih ke pengeluaran yang lebih penting dan mendesak, seperti makanan dan kesehatan, dan mengurangi belanja tersier.
Sektor-sektor tertentu akan lebih terpukul dibanding yang lain selama deflasi. Misalnya, sektor tekstil dan makanan cenderung lebih terdampak dibandingkan dengan sektor jasa digital atau produk kebutuhan pokok yang lebih stabil permintaannya.