Keterlibatan perempuan dalam politik dan ekonomi di Indonesia telah menjadi topik penting selama beberapa dekade terakhir. Dengan terbentuknya Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, ada harapan besar dari berbagai kalangan bahwa pemerintahan baru akan mendorong kesetaraan dan inklusivitas di berbagai sektor.
Secara angka, keterwakilan perempuan dalam Kabinet Merah Putih masih tergolong minim, mencerminkan tantangan struktural yang memang sudah lama dihadapi oleh perempuan di kursi kepemimpinan Tanah Air. Hal ini tentu saja mengundang perhatian dan diskusi di kalangan pegiat kesetaraan gender dan pengamat politik, menimbulkan tantangan dan refleksi yang perlu dijawab secara konstruktif.
Meski jumlah perempuan dalam kabinet masih terbatas dan masih harus terus digalakkan demi menciptakan iklim negara yang berkeadilan untuk semua, perempuan yang sudah berada di dalam struktur pemerintahan ini memiliki peluang besar untuk menjadi agen perubahan yang efektif dan strategis.
Dengan pendekatan yang tepat, mereka dapat menjadi contoh kebijakan dan program yang inklusif, inovatif, dan berkelanjutan—diskursus yang erat kaitannya dengan pembangunan ekonomi hijau. Terlebih lagi, dengan ambisi besar Prabowo yang menargetkan pertumbuhan ekonomi tanah air sebesar 8 persen dalam 5 tahun ke depan, ekonomi hijau dapat menjadi motor penggerak utama dalam mencapainya.
BACA JUGA:Mengukir Kemandirian Energi Bersih di 'Telur Emas' Bali
Ekonomi berkelanjutan bukan hanya tentang transisi energi atau inovasi teknologi, tapi juga berarti tentang menciptakan sistem ekonomi yang adil, inklusif, dan berorientasi jangka panjang. Dalam konteks ini, peran perempuan sangat krusial.
Menurut laporan UN Women, perempuan sering kali memiliki pendekatan holistik dalam pengambilan keputusan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial, lingkungan, dan inklusi. Perempuan, baik di sektor formal maupun informal, memiliki peran besar dalam mengelola sumber daya alam, mendirikan usaha berkelanjutan, dan memimpin gerakan lingkungan di tingkat komunitas.
Oleh karena itu, memastikan keterlibatan perempuan dalam kebijakan ekonomi hijau bukan hanya soal kesetaraan gender, tetapi juga meningkatkan kualitas dan dampak dari kebijakan tersebut.
Beberapa alasan pentingnya perempuan dalam mendorong transformasi kebijakan dan praktik keberlanjutan di antaranya adalah sebagai berikut.
BACA JUGA:Asa Pekerja Migran RI di Malaysia dari Kabinet Merah Putih
Pertama, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Perempuan, terutama di perdesaan, sering kali bertanggung jawab atas pengelolaan lahan, pertanian, dan energi di tingkat rumah tangga maupun komunitas. Mereka kaya akan pengetahuan lokal tentang praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Dengan dukungan yang tepat, baik melalui pelatihan, akses teknologi, maupun modal, perempuan dapat berperan aktif dalam mengimplementasikan praktik pertanian dan energi terbarukan yang berkelanjutan, seperti pertanian organik, agroforestry, dan pemanfaatan energi surya atau biomassa.
Laporan FAO pada tahun 2023 menunjukkan bahwa kesetaraan perempuan dalam sistem pangan dapat meningkatkan ekonomi global sebesar USD1 triliun dan mengurangi kerawanan pangan hingga 45 juta orang.
Ketika perempuan diberdayakan dengan pengetahuan dan teknologi yang relevan, mereka mampu mengoptimalkan penggunaan lahan dan energi, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, serta menciptakan model pengolahan lahan dan energi yang lebih efisien serta ramah lingkungan. Dengan peran ini, perempuan menjadi penggerak utama dalam transisi menuju ekonomi hijau di tingkat akar rumput, memastikan bahwa ekonomi hijau berjalan seiring dengan keberlanjutan sosial dan lingkungan.
BACA JUGA:Memaknai Sekolah Berkualitas