Hal itu akan terjadi karena perubahan aturan pembagian penerimaan pajak kendaraan bermotor. Bila semula pemerintah provinsi menerima 60 persen sedang pemerintah kabupaten dan kota menerima sisanya. Aturan baru itu mengatur sebaliknya, sehingga pemerintah kota dan kabupaten menerima 60 persen.
Kondisi ini tentu menimbulkan perbedaan signifikan. Dalam aturan lama pemerintah provinsi menjalankan prinsip pemerataan dalam bentuk insentif fiskal. Namun dengan adanya aturan baru sejumlah daerah mungkin mengalami penurunan pendapatan karena jumlah kendaraan bermotor yang ada sedikit. Sedangkan kota dan kabupaten dengan kendaraan bermotor besar mungkin mendapat keuntungan dari aturan keuangan baru itu.
Penerapan prinsip keadilan tersebut dapat diartikan sebagai wujud gotong-royong antardaerah. “Tapi kini tak ada, daerah yang jumlah kendaraannya kecil APBD-nya malah bisa merosot, sebaliknya kabupaten dan kota yang jumlah kendaraannya banyak akan diuntungkan, ujar Widarto, politisi PDI Perjuangan yang terpilih menjadi anggota DPRD Jember periode 2024-2029.
Komposisi pembagian hasil pajak yang baru itu bukanlah satu-satunya faktor yang akan menentukan besarnya pendapatan daerah tertentu. Mesti juga diamati beberapa perubahan lain yang juga akan ikut menentukan berapa besar pendapatan sebuah kabupaten dan kota kelak. Perubahan-perubahan yang mungkin akan timbul oleh pemberlakuan UU No:1/2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah penting dicermati.
BACA JUGA:Kiprah Bahlil dari Investasi ke ESDM
UU ini mengatur mengenai lingkup hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang meliputi: 1) pemberian sumber penerimaan daerah berupa pajak dan retribusi; 2) pengelolaan Transfer ke Daerah/TKD; 3) pengelolaan belanja daerah; 4) pemberian kewenangan untuk melakukan pembiayaan daerah; dan 5) pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional.
Selama ini salah satu indikator yang kerap dibicarakan adalah prosentase Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA). Apabila prosentasenya tinggi kinerja pemerintah daerah tersebut dinilai buruk.
SILPA terjadi karena ada selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode. Tentu disesalkan bila terjadi apalagi dalam porsi yang besar.
Pada dasarnya pemerintahan yang berkualitas adalah adanya kesesuaian antara rencana anggaran dengan realisasinya. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian karena adanya berbagai hal yang mesti diatasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Bahkan menurut Widarto, sisa anggaran itu sebenarnya harus ada untuk kelancaran jalannya roda pemerintahan di masa anggaran tahun depannya.
BACA JUGA:Nusantara Baru, Mencari Jalan Menuju Indonesia Maju
Hal ini bisa dimaklumi karena keuangan daerah sangat bergantung kepada kelancaran transfer dari pemerintah pusat. Dalam kurun waktu satu tahun ada masa transisi di mana kas pemerintah daerah belum mendapatkan kiriman dana untuk biaya rutin terutama gaji pegawai negeri.
Dana SILPA itu bisa dimanfaatkan untuk lebih dahulu membayar kewajiban gaji tersebut. Kekosongan kas seperti itu biasanya terjadi pada bulan Januari dan Februari saat memasuki tahun anggaran baru.
Di wilayah Provinsi Jawa Timur, kota dan kabupaten yang bisa mandiri karena PAD-nya besar hanya beberapa seperti Kota Surabaya dan Bojonegoro.
Silpa di Bojonegoro pernah mencapai 30%. Hal itu tentu terlalu besar kendati kebutuhan rutin termasuk gaji PNS dan anggota DPRD telah tercukupi kemajuan. Bisa saja SILPA ditekan seminim mungkin dengan syarat ada kelancaran penerimaan dana dari pemerintah pusat.
BACA JUGA:Relawan Bakti BUMN Bangkitkan Pesona Likupang