Dari pengalaman tiga kali tawaf di waktu berbeda di depan Ka'bah, paling tidak ada empat kelompok orang yang mampu mencapai tiga momen langka tersebut.
Pertama, orang-orang yang sengaja tawaf dengan mengambil jarak dengan Ka'bah atau di lantai atas untuk menghindari terlalu berdesak-desakan.
BACA JUGA:Penolakan RUU Penyiaran dan implikasinya
Mereka sengaja mengambil jarak karena menyadari keterbatasan fisik, risiko, atau memberi kesempatan pada yang lain untuk mendekat dengan Ka'bah.
Kedua, kelompok yang berjuang mendapatkan momen langka tersebut dengan menyingkirkan orang-orang yang menghalangi, sehingga mendapatkan kesempatan berdoa di tempat langka tersebut.
Mereka menggunakan kekuatan fisiknya untuk mendorong atau menarik orang lain agar mendapatkan momen langka berdoa di tempat yang suci.
Ketiga, kelompok yang terbawa arus tawaf, sehingga tanpa disadari mampu mencapai dinding Ka'bah, Multazam, dan Hajar Aswad atau salah satu dari ketiganya.
BACA JUGA:Belajar dari Jepang Kelola Distribusi Pangan Berbasis Koperasi
Mereka biasanya berjalan mengikuti arus pergerakan manusia yang tawaf dan semakin lama semakin mendekat.
Keempat, kelompok yang hampir mencapai ketiganya, tetapi di akhir pencapaiannya malah memberi kesempatan tersebut kepada kakek, nenek, atau orang-orang lemah yang kebetulan berada di sampingnya.
Tentu, kelompok mana yang terbaik dari keempatnya, hanya Allah yang tahu. Keempat kelompok itu menggambarkan bagaimana dalam kehidupan sehari-hari seringkali manusia menjadi kelompok pertama, kedua, ketiga, dan keempatnya secara bergonta-ganti, tergantung konteks, suasana hati, dan keputusan yang dipilih.
Hanya saja, respek mendalam perlu kita sampaikan pada kelompok keempat. Sikap mereka mengingatkan pada kisah-kisah sufi terkenal di masa silam tentang orang yang mengumpulkan uang untuk naik haji, tetapi ketika semua sudah terkumpul dan bersiap berangkat, kemudian membatalkan.
BACA JUGA:Integrasi Pancasila dalam Sistem Hukum di Indonesia
Uang untuk naik haji itu diberikan kepada yang lebih membutuhkan, seperti fakir miskin di sekitarnya atau diberikan kepada orang lain yang juga ingin naik haji.
Dalam tradisi timur, kisah di atas mengingatkan pada cerita Yudhistira, kakak tertua Pandawa. Ia menolak masuk ke swargaloka lantaran anjing yang selama ini setia menemani dilarang menyertai masuk ke swargaloka.
Yudhistira juga menolak tinggal di swargaloka ketika mengetahui adik-adiknya justru berada di neraka. Pada akhirnya itu semua adalah ujian pengorbanan bagi Yudhistira, sehingga semua dapat berkumpul di swargaloka.