"Hal ini nantinya menjadi persyaratan dalam pembuatan visa. selain itu, para mahasiswa dibebankan menggunakan dana talangan sebesar Rp 30-50 juta yang nantinya akan dipotong dari penerimaan gaji setiap bulannya," bebernya.
Brigjen Djuhandhani menyatakan bahwa kontrak kerja dibuat dalam Bahasa Jerman, sehingga para mahasiswa mengalami kesulitan dalam memahami isi kontrak tersebut.
"Mengingat mahasiswa sudah berada di Jerman, sehingga mau tak mau menandatangani surat kontrak kerja dan working permit tersebut," ungkap Brigjen Djuhandhani.
BACA JUGA:Kapal Rohingya Karam di laut Aceh, Tim SAR Temukan 69 Imigran yang Jadi Korban
BACA JUGA:Presiden Jokowi Pastikan Beras Bantuan Pangan Memiliki Kualitas Bagus dan Enak
Padahal isi kontrak kerja tersebut mencakup biaya penginapan dan transportasi selama di Jerman yang dibebankan pada mahasiswa. Pelaku juga memberikan janji palsu bahwa program Ferienjob dapat dikonversikan menjadi SKS.
PT SHB juga mengklaim bahwa program mereka merupakan bagian dari program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) dari Kemendikbudristek. Namun, Kemendikbudristek membantah bahwa kegiatan tersebut adalah bagian dari Program MBKM. Kemenaker juga menyatakan bahwa kegiatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai magang.
"Program tersebut pernah diajukan ke kementerian namun ditolak mengingat kalender akademik yang ada di Indonesia tidak sama dengan kalender akademik yang ada di Jerman," ucap Djuhandhani.
Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda sebesar Rp 600 juta.
Selain itu, mereka juga dikenakan Pasal 81 UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang mengancam dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 15 miliar.