HPN Sebagai Momentum Refleksi UU Pers dan Relevansinya Kini

Minggu 09 Feb 2025 - 19:25 WIB
Oleh: Hanni Sofia

Setiap orang bisa menjadi penyebar informasi, tapi tidak semua memahami etika jurnalistik. Ini menimbulkan tantangan baru yang belum terakomodasi dalam kerangka hukum yang ada.

Misalnya, bagaimana tanggung jawab platform digital dalam menyebarkan berita palsu? Apakah jurnalisme warga juga harus tunduk pada regulasi yang sama dengan media konvensional?

Dari sisi perlindungan terhadap jurnalis, UU Pers memberikan dasar yang cukup kuat, tetapi belum sepenuhnya efektif dalam melindungi para pekerja media dari ancaman fisik, intimidasi, atau kekerasan saat menjalankan tugas.

Kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di lapangan masih sering terjadi, terutama ketika meliput isu-isu sensitif, seperti korupsi, pelanggaran HAM, atau konflik agraria.

BACA JUGA:Mari Berandai-andai Jika Tiba-tiba 1 Dolar AS Setara Rp8.170

Dalam banyak kasus, aparat penegak hukum kerap terlibat sebagai pelaku intimidasi. Ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum yang tertulis dalam UU Pers tidak cukup jika tidak ada komitmen politik dan budaya hukum yang mendukung di lapangan.

Ada juga soal independensi media yang perlu dikritisi. UU Pers memang mendorong kemerdekaan pers dari intervensi pemerintah, tetapi tidak cukup memperhatikan pengaruh pemilik modal terhadap independensi redaksi.

Banyak media besar di Indonesia, saham atau modalnya dimiliki oleh konglomerasi yang memiliki kepentingan politik atau bisnis tertentu.

Akibatnya, pemberitaan sering kali bias, memihak, atau, bahkan, menjadi alat propaganda terselubung. UU Pers belum memiliki mekanisme yang cukup kuat untuk mengatasi konflik kepentingan ini.

Transparansi kepemilikan media dan regulasi yang mengatur konsentrasi kepemilikan media seharusnya menjadi bagian dari pembaruan undang-undang ini.

Penyempurnaan

BACA JUGA:Alarm Badai PHK dan Solusi Ekonomi Indonesia

Lalu, bagaimana seharusnya UU Pers disempurnakan agar bisa lebih adaptif dan relevan?

Ke depan, sepertinya memang perlu ada harmonisasi regulasi antara UU Pers dengan UU lain, seperti KUHP dan UU ITE, agar jurnalis tidak lagi dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet.

Penyelesaian sengketa pers harus sepenuhnya menjadi domain Dewan Pers, tanpa campur tangan pidana, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat spesifik, seperti fitnah atau ujaran kebencian yang jelas-jelas melanggar hukum.

Kemudian, UU Pers perlu memperluas cakupannya untuk mengatur dinamika media digital dan jurnalisme warga.

Ini tidak berarti membatasi kebebasan berekspresi di internet, tetapi memberikan kerangka etika yang jelas dan mendorong literasi media di kalangan masyarakat.

Kategori :