Di atas kertas, ini terlihat sebagai langkah maju yang menghindarkan kriminalisasi jurnalis, namun, dalam praktiknya, tidak semua pihak bisa menghormati mekanisme ini.
BACA JUGA:Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia di Era Trump
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendokumentasikan 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2023. Jumlah ini menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun atau sejak 2014, sehingga menjadi alarm bahaya bagi masa depan kebebasan pers di Indonesia.
Masih banyak kasus di mana jurnalis dipidanakan dengan pasal-pasal di luar UU Pers, seperti pasal pencemaran nama baik dalam KUHP atau UU ITE. Ini menunjukkan masih adanya ketidakseimbangan dalam implementasi hukum yang merugikan kebebasan pers.
Mella Ismelina Farma Rahayu (2005), dalam kajiannya tentang Kebebasan Pers dalam Konteks KUHP (Pidana), menyatakan bahwa idealnya, di negara demokrasi yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan-kebebasan dasar lainnya, karya jurnalistik tidak harus menyebabkan wartawan masuk penjara, melainkan hanya dikenai sanksi denda.
Sanksi denda itupun lazimnya dikenakan secara proporsional, sesuai dengan kemungkinan kemampuan finansial pihak perusahaan pers.
Persoalan lain yang muncul adalah soal akuntabilitas dan profesionalisme media itu sendiri.
UU Pers memang mensyaratkan perusahaan pers untuk berbadan hukum dan mendorong penerapan Kode Etik Jurnalistik.
BACA JUGA:Menyingkap Tirai Gelap Perundungan
Namun, regulasi ini sering kali tidak diikuti dengan pengawasan yang efektif. Di era digital, banyak media daring bermunculan, tanpa standar profesional yang jelas.
Fenomena clickbait, penyebaran hoaks, dan berita-berita sensasional menjadi bagian dari realitas sehari-hari.
Sayangnya, UU Pers belum cukup responsif terhadap dinamika ini. Tidak ada mekanisme yang jelas untuk menindak media yang menyebarkan disinformasi, tanpa harus mengorbankan kebebasan pers.
Platfom digital
UU Pers juga masih memiliki kecenderungan terfokus pada media arus utama dan kurang memperhatikan perkembangan media digital serta jurnalisme warga.
Saat UU ini disusun, internet dan platform digital memang masih belum menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
BACA JUGA:Kegiatan Saat Imlek di China, Tak Hanya Mudik dan Terima Angpao
Kini, dengan maraknya media sosial dan platform daring, batas antara jurnalis profesional dan warga biasa menjadi kabur.