KEBUDAYAAN (kesenian) merupakan produk masyarakat yang terus berkembang. Percampuran dan benturan menjadikan nilai eksotik dari kebudayaan itu sendiri. Budaya, Islam, upacara tradisional menjadi kata kunci untuk meneroka lebih jauh bagaimana Pulau Belitong saat ini. Salah satu kesenian tradisional bernuansa Islami yang menarik untuk diketahui adalah Hadrah Ma’indi dan upacara tradisional yang menopangnya.
Hadrah Ma’indi cukup banyak tersebar di wilayah Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Di Indonesia, hadrah juga dikenal dengan sebutan hadroh, terbang, rebana dan banyak lagi. Perjalanan panjang hingga hadrah sangat tersohor di Indonesia, bersamaan dengan masuknya islam pada abad ke-7 masehi.
Kesenian hadrah digunakan sebagai media dakwah yang berisi shalawat berupa kata-kata pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika hadrah masuk ke berbagai daerah di Indonesia maka terjadilah penyesuaian dan perubahan sesuai dengan kebudayaan daerah tersebut, tanpa menghilangkan identitas budaya aslinya. Inilah yang disebut dengan akulturasi budaya.
Lalu apa yang membedakan Hadrah Ma’indi dengan hadrah lainnya? Penyebutan Hadrah Ma’indi merujuk pada nama kesenian tradisional dan alat musik yang digunakan. Artinya jika Hadrah Ma’indi dimainkan dengan alat musik kompang yang ada di Riau, maka kesenian tradisional tersebut tidak bisa dikatakan dengan Hadrah Ma’indi, begitupun juga sebaliknya.
BACA JUGA:Desa Lalang, Pusat Denyut Budaya di Belitung Timur!
Menurut Ahad Bajeri (almarhum) yang saya wawancarai pada tahun 2018, kata Ma’indi berasal dari nama orang yang pertama kali memperkenalkan kesenian tradisional ini. Selanjutnya, perlu sekali menelusuri etimologi dari kata ini.
Hadrah Ma’indi sangat kuat kaitannya dengan upacara tradisional perkawinan yang ada di Belitung Timur yang dikenal dengan sebutan Gawai Penganten. Gawai merupakan kata istilah lokal untuk menyebutkan prosesi perkawinan dan Penganten adalah kedua mempelai yang akan menikah.
Ketika rapat untuk penyusunan panitia gawai, lazimnya Tukang Gendang (penabuh Hadrah Ma’indi) selalu ditanyakan. Sehingga bisa jadi masyarakat menganggap bahwa Gawai Penganten menjadi salah satu penyangga keberadaan Hadrah Ma’indi di Belitong hingga terus ada sampai sekarang.
Adapun makalah dari hasil laporan sarasehan Budaya Belitung pada tanggal 7 Agustus 2001 telah menetapkan tentang prosesi perkawinan dan pakaian adat Belitung. Perihal ini berbicara mengenai rincian tata urutan prosesi perkawinan berlangsung, kemudian ditetapkan kedalam peraturan Daerah Kabupaten Belitung nomor 3 tahun 2003.
Di dalamnya juga tercatat beberapa istilah nama yang berperan penting dalam prosesi Gawai Penganten, seperti Raje Sehari, Ratu Sehari, Penghulu Gawai, Mak Inang, Mak Panggong, Tukang Berebut Lawang, Tukang Begendang, Dukun Kampong, dan Urang Sebelah.
Hadrah Ma’indi digunakan sebagai Ngarak (pengiring) dan Ngambelek (menjemput) pengantin. Sama halnya dengan kirab di Jawa, prosesi ini menjadi moment sakral yang sangat penting dalam sebuah pernikahan.
BACA JUGA:Warisan Budaya Urang Darat Belitong yang Terlupakan
Terdapat beberapa fungsi dalam prosesi ini, diantaranya fungsi norma sosial, komunikasi, kesinambungan budaya, emosional, estetik serta pembentukan suasana dan tentu sepatutnya menjadi nilai berharga yang harus dilestarikan.
Menyibak Semak
Perkembangan dan kemajuan zaman terus menjadi topik yang selalu diperbincangan. Perkembangan zaman selalu menjadi korban yang juga disalahkan jika berbicara sebab musabab lunturnya kesenian tradisional.