Kepemimpinan ekonomi yang berbasis etika menjadi landasan penting untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam era globalisasi yang penuh tantangan.
Berdasarkan data Indeks Pembangunan Berkelanjutan (SDG Index, 2023), negara-negara yang menunjukkan kemajuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) --yang mencakup kepemimpinan beretika, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan-- memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Kepemimpinan ekonomi di Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari ketimpangan sosial, korupsi, hingga perubahan dinamika global.
Dalam konteks ini, pendekatan berbasis etika menjadi krusial untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
BACA JUGA:Saat Kecerdasan Buatan Makin Cerdas
Etika dalam kepemimpinan ekonomi tidak hanya mencakup kejujuran dan transparansi, tetapi juga keadilan dan tanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan ekologis.
Indonesia membutuhkan strategi kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika karena berbagai alasan yang berhubungan dengan kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, dan tata kelola pemerintahan.
Strategi ini penting untuk memastikan pembangunan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Laporan Bank Dunia (2022) menyatakan bahwa negara-negara dengan tata kelola yang baik, termasuk kepemimpinan beretika, cenderung memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, yaitu rata-rata memiliki PDB per kapita 2-3 kali lebih besar dibandingkan negara dengan tata kelola yang lemah.
Beberapa tinjauan konseptual dapat menjadi pondasi pemahaman pemikiran kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika, di antaranya Teori Pertumbuhan Endogen (Endogenous Growth Theory).
BACA JUGA:Peran Bulog Dalam Simpul Koordinasi Pangan
Teori ini menekankan bahwa inovasi, modal manusia, dan institusi yang baik merupakan faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi. Etika dalam kepemimpinan dapat memperkuat institusi ekonomi melalui transparansi dan akuntabilitas. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Romer dalam karyanya (1986) yang menekankan pentingnya pengetahuan dan inovasi teknologi sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Dasar pemikiran selanjutnya adalah Teori Pembangunan Berbasis Nilai (Value-Based Development). Menurut teori ini, pembangunan ekonomi harus berorientasi pada nilai-nilai moral dan sosial. Hal ini mencakup distribusi yang adil dan pemberdayaan komunitas lokal.
Hal ini pernah disampaikan oleh Sachs, melalui pendekatannya dalam The Age of Sustainable Development (2015), yang mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan dalam strategi pembangunan, antara lain pembangunan ekonomi harus mempertimbangkan dimensi sosial dan lingkungan.
Kemudian, Teori Triple Bottom Line. Konsep ini memperluas fokus ekonomi tradisional yang hanya berorientasi pada keuntungan, menjadi tiga dimensi, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan.