Memperoleh gambaran pasti soal relevansi manusia di hadapan kemajuan teknologi tampaknya tak mudah.
Ada pendapat kuat dari satu kelompok masyarakat - bahkan representasi pandangan besar masyarakat- yang yakin bahwa sampai kapan pun, manusia tak bakal tergantikan mesin. Bahkan yang berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), paling cerdas pun.
Pengembangan perangkat cerdas ini memang melaju sangat cepat. Dalam tahap intensif menyingkap dan mereplikasi sisi emosional, intuitif, maupun konteks budaya yang melatarbelakangi nuansa manusia. Namun peluangnya ada di antara harapan atau kemustahilan.
Banyak uraian-uraian senada soal kekokohan kedudukan manusia itu. Salah satunya dikemukakan Bernard Marr, 2024, pada artikelnya ”AI Won't Replace Humans – Here's The Surprising Reason Why”.
BACA JUGA:Peran Bulog Dalam Simpul Koordinasi Pangan
Pada tulisan itu Marr berargumentasi bahwa otak manusia merupakan sistem pemrosesan informasi yang komplek juga efisien. Jika dibandingkan, perangkat berbasis AI yang mampu memproses hingga petabyte data lengkap dengan pengenalan polanya, masih kalah kemampuannya dari manusia dalam memahami nuansa.
Juga ketika dihadapkan pada realitas yang tak tampil nyata, konteksnya berbeda, apalagi jika harus membuat lompatan intuitif akibat terbatasnya data. Seluruh kemampuan komputasi AI itu tak mampu, alih-alih melampaui, menirukan kecerdasan manusia jenis itu.
Pemahaman nuansa yang dimaksud Marr contohnya AI mampu menilai situasi emosi, dari ekspresi wajah. Tapi sedalam apa situasi emosi itu, tak dapat dinyatakan dengan pasti. Mengandalkan neuroscience, sensor AI dapat melacak perbedaan senang dari sedih. Namun seberapa senang dan seberapa sedih seseorang, tak dapat dipastikan.
Pernyataan AI sebatas epiphenomena, gejala permukaan. Padahal terbedakannya nuansa emosi merupakan hal penting, dalam pengambilan keputusan. Misalnya saat menentukan jenis penanganan pemulihan pasien gangguan mental. Seberapa terganggunya, harusnya dapat dipastikan. Ini mestinya, mengandalkan AI dalam membaca nuansa wajahnya.
BACA JUGA:Radikalisme dan Atheisme Digital Selama 2024
Demikian pula saat membaca hasrat konsumen. Ekspresi wajah yang mendambakan suatu produk, mestinya dapat dibedakan dari yang sekedar menginginkan.
Keterbatasan-keterbatasan itu bisa diartikan belum tereplikasinya seluruh kecerdasan manusia, alih-alih menggantikannya oleh AI.
AI ‘baru’ jadi perangkat augmentasi, yang mengekstensi kemampuan manusia. Walaupun pada tulisan yang lain, “The Third Wave of AI Is Here: Why Agentic AI Will Transform the Way We Work”, Bernard Marr yang mengutip pendapat Silvio Savarese, Wakil Presiden Eksekutif dan Kepala Ilmuwan Salesforce AI Research, menyebut perkembangan AI hari ini ada di gelombang ketiga.
Adapun pembagiannya: gelombang awal, merupakan perkembangan AI prediktif. Pada perkembangan awal ini, AI memfasilitasi bisnis untuk memprediksi kecenderungan, berikut diambilnya keputusan berdasarkan data.
BACA JUGA:Anggota BRICS, Babak Baru Diplomasi Ekonomi Indonesia