BELITONGEKSPRES.COM - Dua dekade telah berlalu sejak tragedi tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, yang merenggut ratusan ribu nyawa dan meninggalkan jejak mendalam dalam ingatan bangsa. Bencana tersebut bukan hanya sekadar luka bagi para penyintas, tetapi juga menjadi momentum penting dalam transformasi upaya mitigasi bencana di Indonesia.
Pada saat itu, keterbatasan teknologi dan ketiadaan sistem peringatan dini membuat respons terhadap bencana menjadi sangat terbatas.
Peristiwa tsunami Aceh menjadi pelajaran berharga tentang urgensi membangun sistem peringatan dini yang cepat, akurat, dan terintegrasi. Dari pengalaman pahit itu, lahirlah Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS), yang dirancang untuk memberikan informasi dini agar masyarakat bisa mengambil tindakan penyelamatan sebelum bencana melanda.
Selanjutnya, pemerintah mulai menyusun standar operasional prosedur (SOP) mitigasi bencana dan menggencarkan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya memahami risiko bencana. Semua langkah ini diambil untuk memastikan tragedi serupa tidak terulang akibat ketidaksiapan.
BACA JUGA:Arab Saudi Apresiasi Kebijakan Pembentukan BP Haji oleh Presiden Prabowo
BACA JUGA:Libur Natal 2024: 19 Ribu Orang Kunjungi Monas
Namun, bencana gempa dan tsunami Palu pada 2018 mengingatkan kita bahwa kompleksitas risiko bencana di Indonesia tidak bisa diabaikan. Rahmat, seorang penyintas yang juga menyaksikan kejadian tersebut, berbagi pengalamannya bahwa likuifaksi yang terjadi setelah gempa membuat dampak kerusakan semakin parah dan sulit diprediksi.
"Tsunami Aceh adalah kenangan pahit yang takkan pernah saya lupakan. Saat itu, kami tak tahu harus berbuat apa. Tanpa peringatan dini dan panduan, kami benar-benar bingung. Dua puluh tahun kemudian, teknologi dan sistem sudah jauh lebih baik, tetapi saya yakin, kesiapan masyarakat adalah kunci utama untuk menghindari kehancuran yang lebih besar," ungkap Rahmat, sebagaimana dilaporkan BMKG pada Kamis, 26 Desember.
Tragedi tsunami Aceh tidak hanya mengingatkan kita akan ancaman gempa dan tsunami, tetapi juga memperkenalkan fenomena likuifaksi kepada masyarakat. Fenomena ini terjadi ketika tanah kehilangan kekuatannya akibat guncangan, menyebabkan bangunan di atasnya runtuh atau tertelan.
Peristiwa ini menegaskan pentingnya pembaruan teknologi, SOP mitigasi, dan edukasi masyarakat. Meskipun teknologi terus berkembang, tanpa kesadaran dan kesiapan masyarakat, upaya mitigasi akan sulit mencapai hasil yang diharapkan.
BACA JUGA:Akademisi Tekankan Perlunya Penguatan Fungsi Kompolnas
BACA JUGA:Diperlukan untuk Penyidikan, Yasonna Laoly Dilarang ke Luar Negeri oleh KPK
Hingga saat ini, teknologi terus ditingkatkan untuk mendukung mitigasi bencana. Sistem deteksi dini diperbaiki, dan komunikasi antarinstansi dipercepat. Namun, semua itu memerlukan dukungan dari masyarakat untuk memahami dan mematuhi SOP bencana.
Tanpa pemahaman yang baik, teknologi yang canggih sekalipun tidak akan efektif. Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan melalui latihan evakuasi, penyebaran informasi yang mudah diakses, dan integrasi antara pemerintah, komunitas, dan media.
Dalam memperingati 20 tahun tsunami Aceh, marilah kita mengenang para korban dan mengambil hikmah dari setiap bencana. Bencana adalah pengingat bahwa kita harus terus belajar, beradaptasi, dan mempersiapkan diri menghadapi risiko yang mungkin muncul di masa depan. (jpc)