BELITONGEKSPRES.COM - Kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen diperkirakan akan mempengaruhi industri jasa pembayaran elektronik dan digital, terutama di sektor transaksi uang elektronik. Kenaikan pungutan pajak ini berpotensi mengurangi pendapatan perusahaan penyedia layanan sistem pembayaran pada 2025 mendatang.
Heru Perwito, Direktur Bisnis PT Artajasa Pembayaran Elektronis (Artajasa), mengungkapkan bahwa ia terus memantau perkembangan kebijakan perpajakan yang tengah hangat dibicarakan oleh pelaku industri.
Ia menjelaskan bahwa layanan yang disediakan oleh Artajasa, yang menggunakan mekanisme merchant discount rate (MDR), sudah termasuk PPN dalam setiap transaksi yang dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS), yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI).
Meskipun demikian, potensi besar perkembangan transaksi QRIS di Indonesia memberikan keyakinan bahwa Artajasa akan tetap dapat mempertahankan pertumbuhan positif. "Dengan tren transaksi QRIS yang semakin meningkat, kami tetap optimis akan mencapai target pertumbuhan yang diharapkan," ujar Heru.
BACA JUGA:Dukung Ketahanan Pangan, Wapres Gibran dan Mentan Amran Serahkan Bantuan Rp 20 Miliar untuk Petani
BACA JUGA:Petrokimia Gresik dan Kejati Jatim Perkuat Sinergi untuk Swasembada Pangan
Di sisi lain, Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), mengkritik langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan yang dianggap tidak mempertimbangkan efek berganda dari kebijakan kenaikan PPN tersebut.
Menurut Media, kenaikan tarif PPN 1 persen dapat memicu gejolak harga barang yang jauh lebih besar daripada persentase kenaikan pajaknya itu sendiri.
"Gejolak harga pasti terjadi, karena masyarakat cenderung mengurangi belanja mereka. Terlebih lagi, kenaikan PPN 12 persen ini bersamaan dengan momen Natal dan Tahun Baru, di mana kenaikan harga barang sudah terjadi secara musiman," ujarnya.
Media juga mengkritik pernyataan DJP yang menyebutkan bahwa kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen tidak akan berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa, dengan estimasi kenaikan harga hanya sebesar 0,9 persen bagi konsumen. Ia menyebutkan bahwa estimasi tersebut keliru secara statistik dan substansi ekonomi.
"DJP menghitung dampak kenaikan PPN berdasarkan harga jual seolah-olah kenaikan harga hanya 0,9 persen. Perhitungan ini sangat menyesatkan karena tidak mempertimbangkan efek kumulatif. Ketika PPN naik, setiap komponen harga barang dan jasa dalam rantai pasokan dan proses produksi akan terpengaruh, sehingga harga akhir pasti lebih tinggi dari estimasi tersebut," jelasnya.
BACA JUGA:Wamenaker Berharap Tak Ada Badai PHK yang Mengguncang Ketenagakerjaan Indonesia
BACA JUGA:Celios: Perppu Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen Bukti Keberpihakan Prabowo pada Rakyat
Menurut Media, DJP tampaknya berusaha meminimalkan dampak negatif dari kenaikan tarif PPN dengan mengklaim hanya ada penambahan harga 1 persen, padahal kenaikan tarif tersebut, meskipun dibebankan pada penyedia layanan, tetap akan masuk dalam komponen harga yang harus dibayar oleh konsumen.
"Dampak kenaikan tarif PPN ini akan dirasakan langsung oleh konsumen, meskipun nominalnya mungkin tidak langsung terlihat pada harga barang atau jasa, namun dampaknya jelas akan lebih besar ketika dihitung secara menyeluruh dalam proses produksi dan distribusi," tegasnya.