Pertama, memperkuat kerangka keamanan siber. Pemerintah harus menetapkan standar keamanan siber yang ketat untuk lembaga keuangan dan sektor kritis lainnya. Ini termasuk otentikasi multi-faktor wajib, audit keamanan secara berkala, dan penerapan sistem pemantauan berbasis AI untuk mendeteksi perilaku anomali secara seketika atau real-time.
Kedua, mengembangkan alat deteksi deepfake nasional. Indonesia dapat berinvestasi dalam penelitian AI untuk menciptakan alat yang mampu mengidentifikasi deepfake dan bentuk peniruan digital lainnya. Bekerja sama dengan mitra internasional dan perusahaan teknologi akan mempercepat pengembangan teknologi ini.
Ketiga, meningkatkan kesadaran publik. Kampanye pendidikan publik sangat penting untuk menginformasikan warga tentang risiko peniruan. Program pelatihan untuk karyawan di sektor berisiko tinggi, seperti keuangan dan kesehatan, harus menekankan pengenalan dan respons terhadap serangan rekayasa sosial.
BACA JUGA:Alternatif BLT dengan Transfer Langsung Bank Sentral
Keempat, membentuk satgas khusus. Unit khusus dalam Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dapat fokus pada kejahatan yang terkait dengan replikasi. Satgas ini akan berkoordinasi dengan penegak hukum, perusahaan swasta, dan badan internasional untuk menghadapi ancaman yang berkembang.
Kelima, reformasi hukum dengan memperbarui undang-undang yang ada untuk menangani replikasi di era digital sangat penting. Pemerintah harus mengkriminalisasi penggunaan teknologi deepfake untuk tujuan penipuan dan memberlakukan hukuman berat bagi pelaku.
Keenam, mendorong inovasi verifikasi identitas. Mendorong penggunaan otentikasi biometrik dan teknologi blockchain dapat meningkatkan proses verifikasi identitas, mengurangi risiko replikasi.
Kekuatan replikasi terletak pada kemampuannya untuk mengeksploitasi kepercayaan, landasan kerja sama manusia. Dari medan perang hingga ruang dewan, mimikri tetap menjadi alat manipulasi yang ampuh. Seiring berkembangnya teknologi, begitu pula taktik mereka yang menggunakannya, menciptakan perlombaan senjata yang berkelanjutan antara peniru dan penangkal.
Bagi Indonesia, taruhannya tinggi. Kegagalan untuk mengatasi tantangan ini dapat merusak pertumbuhan ekonomi, kepercayaan publik, dan keamanan nasional. Namun, dengan secara proaktif menerapkan langkah-langkah penanggulangan yang kuat, negara ini dapat membalikkan keadaan melawan taktik kuno ini, memastikan masa depan yang lebih aman dan terjamin bagi warganya.
BACA JUGA:Kasus Judi 'Online' yang Pernah Menyeret Para Pesohor
Replikasi sama tuanya dengan perang itu sendiri, namun relevansinya hanya tumbuh di dunia yang saling terhubung saat ini. Baik melalui spionase licik, penipuan keuangan, atau penipuan digital, mimikri terus membentuk dinamika konflik dan kerja sama.
Saat Indonesia dan negara lain bergulat dengan ancaman ini, pelajaran dari sejarah mengingatkan kita bahwa kewaspadaan, inovasi, dan kolaborasi merupakan pertahanan paling efektif kita.
*) Dr. Aswin Rivai, SE.,MM adalah pemerhati ekonomi dan Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta