Soal Kenaikan PPN Jadi 12 Persen, Pengamat Minta Kebijakan Dikaji Ulang
Ilustrasi: Pajak (Dok. JawaPos.com)--
BELITNGEKSPRES.COM - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kenaikan ini sudah sesuai dengan regulasi yang ditetapkan.
Namun, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, yang menilai kenaikan tarif PPN dapat membawa dampak negatif yang signifikan terhadap ekonomi dan masyarakat.
Bhima menjelaskan bahwa jika diakumulasi dalam empat tahun terakhir, kenaikan tarif PPN bukan hanya sebesar 2 persen, melainkan mencapai 20 persen, dari 10 persen menjadi 12 persen.
Ia juga menyoroti bahwa kenaikan tarif ini cenderung terlalu tinggi jika dibandingkan dengan akumulasi kenaikan inflasi tahunan. Kenaikan PPN ini, menurut Bhima, akan langsung memengaruhi inflasi umum dan menyebabkan harga berbagai barang menjadi lebih mahal. Kondisi tersebut berpotensi mendorong inflasi 2025 mencapai 4,5–5,2 persen secara tahunan (year on year).
BACA JUGA:Ekonom Sarankan Subsidi dan Insentif untuk Redam Tekanan Kenaikan PPN
BACA JUGA:Pro dan Kontra Kenaikan PPN 12 Persen 2025, Sri Mulyani Berikan Penjelasan
Bhima juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, yang menjadi penopang konsumsi rumah tangga nasional sebesar 35 persen.
Ia menilai bahwa masyarakat kelas menengah sudah lebih dulu menghadapi tekanan berupa kenaikan harga pangan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Dengan kenaikan tarif PPN, daya beli masyarakat akan semakin tergerus, yang dapat berdampak pada penurunan penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, dan kosmetik.
Di sisi lain, Bhima menyoroti risiko yang dihadapi pelaku usaha akibat penyesuaian harga barang dan jasa sebagai respons terhadap kenaikan tarif PPN.
Ia memperkirakan bahwa penurunan omzet bisa memaksa pelaku usaha untuk mengurangi kapasitas produksi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pengurangan tenaga kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
BACA JUGA:Nilai Transaksi Ojol Tembus Rp142,7 Triliun, Tapi Belum Sebanding dengan Kesejahteraan Driver
BACA JUGA:Impor Susu RI Naik 7,07 Persen atau Capai 257 Ribu Ton, Selandia Baru Jadi Pemain Utama
Bhima menegaskan bahwa jika konsumsi masyarakat melemah, pendapatan negara dari berbagai jenis pajak, termasuk PPN, justru akan terdampak negatif.