Hujan di Bulan Guru Nasional
Ares Faujian-Istimewa-
Bagaimana mau melaksanakan deep learning sesuai harapan Mendikdasmen, namun guru menjadi pihak yang tidak aman mengajar, dan tidak aman pula bagi peserta didik itu sendiri?
Momentum Bulan Guru Nasional sejatinya tidak hanya menjadi ajang perayaan, tetapi juga ruang untuk merenungkan nasib, tantangan, dan harapan bagi profesi guru di Indonesia.
Dalam suasana penghujan yang kerap melingkupi bulan November, kita seolah diingatkan bahwa kehidupan seorang guru penuh dinamika, yakni kadang cerah, kadang mendung, dan tak jarang pula dilanda badai. Namun, seperti hujan yang membawa kehidupan, dedikasi para guru tak pernah berhenti menyirami generasi bangsa dengan ilmu dan nilai-nilai luhur.
Guru dalam Bayang-Bayang Tantangan
Meski peran guru begitu strategis, tak dapat dipungkiri bahwa berbagai tantangan masih membayangi perjalanan profesi ini. Sebagai contoh, kasus-kasus seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yakni kekerasan/ diskriminasi terhadap guru hingga kasus asusila yang melibatkan guru itu sendiri, merupakan cerminan dari problematika yang harus segera diatasi.
BACA JUGA:Pusaran Konflik dan Jembatan Melewatinya
Di satu sisi, ada tuntutan agar guru semakin profesional, tetapi di sisi lain, masih banyak yang belum mendapatkan hak-hak dasar mereka, seperti penghasilan yang layak dan perlindungan hukum.
Era digital juga menjadi tantangan tersendiri bagi profesi guru. Yang mana, teknologi menawarkan peluang besar untuk memperkaya proses pembelajaran. Namun sayangnya, tidak semua guru memiliki kemampuan adaptasi yang sama dan akses untuk memanfaatkan teknologi secara baik merata. Belum lagi, digitalisasi pendidikan acap kali dihadapkan pada kendala infrastruktur, seperti jaringan internet yang tidak merata di seluruh Indonesia.
Tak hanya itu, kehadiran teknologi juga menghadirkan dinamika sosial baru. Banyak guru harus menghadapi generasi siswa yang tumbuh di era media sosial dan Artificial Intelligence (AI), yang cenderung lebih kritis dan lebih cerdas, tetapi juga lebih rentan terhadap disinformasi. Ihwal ini membutuhkan keterampilan komunikasi yang lebih baik dan kemampuan pedagogik yang adaptif.
Husnaini, dkk. (2019) dalam risetnya mendeskripsikan bahwa guru kekinian menghadapi berbagai tantangan di bidang sosial budaya, politik dan teknologi. Semua tantangan tersebut, menuntut guru, sebagai ujung tombak pembelajaran untuk makin berkembang dengan berusaha meningkatkan kemampuannya.
BACA JUGA:Transformasi Pendidikan Melalui Kurikulum Merdeka
Pratap Triloka
Selain sekolah, keluarga dan masyarakat memegang peranan penting dalam mewujudkan pendidikan masa depan. Sebagai individu yang bersentuhan langsung dengan siswa, guru tak lepas menjadi sasaran kritik yang tidak proporsional. Padahal, keberhasilan pendidikan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas guru.
Pratap Triloka atau disebut juga Tri Pusat Pendidikan adalah konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara (KHD) tentang sinergi di lingkungan pendidikan. Konsep ini menekankan bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan utama, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Menurut KHD, keluarga adalah fondasi pertama yang membentuk karakter anak, sekolah berperan sebagai tempat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, sedangkan masyarakat menjadi ruang untuk menerapkan dan memperkuat nilai-nilai sosial.