Kembali Kepada Indonesia
Tangkapan layar - Presiden RI Prabowo Subianto saat berpidato usai pelantikan di Jakarta, Minggu. (20/10/2024). -Youtube Sekretariat Presiden/pri-ANTARA
Pada titik inilah publik seperti mendapatkan pencerahan, tatkala Presiden Prabowo mengatakan: "Marilah kita berani mawas diri, menatap wajah sendiri, dan mari berani memperbaiki diri sendiri, berani mengoreksi diri kita sendiri." Mengapa melihat kenyataan membutuhkan jenis keberanian tertentu?
Apabila ditinjau dari sudut negara bangsa, maka kemungkinan ada tiga soal yang membutuhkan keberanian dalam mengungkapkannya. Satu, kenyataan tentang (kekuasaan) negara, baik susunan, tata kelola dan kinerjanya dalam melayani rakyat. Dua, kenyataan tentang (seluruh) kekayaan bangsa, baik yang nyata berwujud maupun tak berwujud. Tiga, kenyataan tentang hidup dan kualitas hidup rakyat. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada ketiganya, jika Presiden mengatakan: "Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tidak makan pagi. Terlalu banyak anak-anak kita yang tidak punya pakaian untuk berangkat sekolah."
Harapan
Indonesia adalah sumur harapan yang tidak akan kering, kendati setiap saat diambil tanpa henti. Pandangan ini diperoleh dari kenyataan historis, yakni tatkala generasi baru pada 28 Oktober 1928, menyatakan diri sebagai Indonesia, dan dengan demikian pula telah terjadi transformasi menjadi dan berada di dalam Indonesia. Peristiwa tersebut dapat pula dipandang sebagai lahirnya pihak baru yang berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Dengan lensa Indonesia, tampak jelas bagaimana kekayaan negeri tidak menjadi bagian dari kehidupan rakyat. Bung Karno menggambarkannya sebagai "penyerotan rezeki keluar".
BACA JUGA:Kopi Unik Gunung Ciremai, Cita Rasa Nusantara Mendunia
Frans Magnis-Suseno, dalam “Etika Politik” (1987), menggambarkan sulitnya mengatasi ketidakadilan sosial jika mengandalkan kekuatan yang sebenarnya ikut bertanggungjawab atas keadaan tersebut. Hal itu pula yang mungkin menjelaskan mengapa generasi baru memilih membentuk suatu entitas baru, dan tujuhbelas tahun kemudian: Indonesia Merdeka.
Makna dalam peristiwa tersebut adalah bahwa dengan dan dalam Indonesia, harapan selalu tersedia, dan dari harapan itu pula lahir langkah-langkah bertenaga yang mengubah sejarah. Ketika muncul kesadaran bahwa tulang punggung perjuangan kemerdekaan dan pendirian negara, adalah rakyat, maka hal itu dapat dikatakan sebagai suatu pesan bahwa cita-cita luhur bangsa hanya mungkin dicapai, jika dan hanya jika "kembali kepada Indonesia". Dengan langkah itu, tidak saja akan diperoleh keberanian mengungkapkan kenyataan secara apa adanya dan jujur, akan tetapi keberanian mengatasi masalah yang telah berakar dalam struktur.
Sampai di sini, rasa pesimistis mungkin akan menghadang. Apakah kesadaran baru akan dengan sendirinya diikuti oleh langkah-langkah yang sejalan? Sebagian kalangan meragukan, mengingat pembentukan tim kerja (kabinet Merah Putih), dianggap kurang mencerminkan kesadaran bahwa situasi penuh keterbatasan. Sebagian yang lain justru punya optimisme: yang berlangsung bukan suatu inefisiensi, melainkan suatu pesan bahwa tanpa kebersamaan seluruh kekuatan negeri, mustahil keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan.
Jika demikian itu yang berlangsung, yakni suatu inovasi politik dalam bentuk bangunan kerja sama dengan spektrum lebar, maka yang menjadi masalah berikutnya adalah bagaimana membuktikan bahwa metode tersebut adalah benar dan optimal? Jika muncul masalah di mana elemen-elemen yang ada berpotensi bekerja untuk arah dan kepentingan yang berbeda, bagaimana mengatasinya? Apakah dimungkinkan suatu terobosan politik, agar kesadaran "kembali kepada Indonesia", dapat menjadi landasan bagi langkah-langkah utama pembaruan pembangunan bangsa?
BACA JUGA:Menakar Potensi dan Konsekuensi Ekonomi dari Keanggotaan RI di BRICS
Inovasi
Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa dia yang dilantik adalah representasi formal dari mayoritas kehendak rakyat. Artinya, rakyat memberikan mandat agar yang terpilih bertindak atas rakyat dan demi kepentingan rakyat. Segala halangan mestinya tidak ada lagi, karena kekuasaan eksekutif telah sepenuhnya diberikan untuk dipergunakan sesuai dengan ketentuan hukum. Namun kenyataan kerap berkehendak lain. Sejarah menyodorkan bukti peluang terjadinya penyimpangan atau keadaan dimana kata dan tindakan berselisih jalan.
Dasar historis itulah yang seharusnya membuka kemungkinan bagi terobosan sejarah. Yang dimaksud adalah langkah inovasi yang merupakan terjemahan dari kehendak kembali kepada Indonesia.
Satu, alih-alih mengadakan pembatasan demi efektivitas jalannya kekuasaan, yang dikembangkan justru memperbesar ruang kebebasan politik bagi warga, dengan arah melebarkan ruang partisipasi publik. Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa hanya dengan melihatkan rakyat dalam pembangunan bangsa, maka akan dapat lebih dijamin ketercapaiannya.
Dua, perubahan mendasar yang mengangkat kualitas hidup rakyat, dalam kenyataannya sangat mengandalkan daya hidupnya. Bahkan dalam keterbatasan, dan dalam skala mikro, namun ekonomi tidak hanya mampu bertahan dalam hantaman krisis, namun juga dapat menyumbang ketahanan ekonomi. Oleh sebab itulah, cara berpikir yang hanya mengandalkan ekonomi besar dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi, perlu dilengkapi dengan memperkuat ekonomi akar rumput, yang dengan demikian meningkatkan partisipasi ekonomi, akses adil atas kekayaan secara adil, perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.
BACA JUGA:Menilik Pulau Bando, Konservasi Alam Pertama Terapkan Energi Terbarukan
Tiga, pola relasi kekuasaan konvensional, yang menempatkan rakyat atau suara akar rumput hanya sebagai penghuni TPS, perlu ditransformasi menjadi suatu relasi baru yang berbasis pada prinsip bahwa rakyatlah pejuang, pelindung dan patriot penjaga eksistensi negara bangsa. Untuk itulah, relasi tidak lagi sebagai relasi kontrol, melainkan relasi partisipasi-emansipatif, yang merepresentasikan relasi demokratik antara rakyat dan negara. Suatu formasi demokrasi yang merepresentasikan kepribadian Indonesia. Adonan ketiganya, yang berporos persatuan nasional, tentu akan menghadirkan kembali Indonesia, yang mampu membawa bangsa kepada cita-cita luhurnya. (ant)