Kelindan Etika Lingkungan dan Tobat Ekologis dalam Sastra
Dwi Oktarina-Dok Pribadi-
Terdapat beberapa nama sastrawan yang menyediakan gambaran pertarungan antara kepentingan manusia dan alam seperti Ahmad Tohari dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak, Korrie Layun Rampan dengan novel Api Awan Asap, Ayu Utami dengan Saman dan Bilangan Fu, Dorothea Rosa Herliani dengan Isinga, atau Faisal Oddang dengan Dari Puya ke Puya.
Tema-tema sastra hijau tidak hanya jadi monopoli dalam bentuk prosa. Cuplikan puisi karya Prof. Nurhayati di atas dapat menjadi salah satu contoh. Permasalahan lingkungan saat ini menjadi sebuah hal yang penting untuk diangkat dan didiskusikan dalam forum-forum diskusi.
BACA JUGA:Selanjutnya Perang AS-Iran?
Tidak hanya itu saja, topik lingkungan juga menjadi salah satu isu penting dalam debat calon wakil presiden Republik Indonesia yang diselenggarakan pada 21 Januari 2022. Dalam salah satu bagian debat, salah seorang calon wakil presiden mengemukakan diksi tobat ekologis dan etika lingkungan. Lantas, bagaimana kelindan antara etika lingkungan dan pertobatan ekologis dalam dunia sastra?
Sastra dan Etika Lingkungan
Dalam sastra, cabang ilmu yang secara khusus mempelajari hubungan antara sastra dan lingkungan yakni ekokritik atau ecocriticism. Tidak hanya terbatas pada mencari-cari makna dan peran lingkungan dalam karya sastra, ekokritik berfungsi menjelaskan ketakterpisahan manusia dengan lingkungan sekitar yang melingkupinya.
Salah satu tujuan utama dari pemahaman ekokritik adalah upaya menyadarkan para pembaca sastra tentang pentingnya masa depan lingkungan dan keberlanjutan (sustainability) koneksi antara manusia dan alam. Sebagai sebuah studi transdisipliner, sastra juga bertemu dengan persoalan etika lingkungan saat membincangkan nilai-nilai seperti apa yang harus dilakukan manusia dalam rangka menghormati alam.
Konsep mengenai Etika Lingkungan terdiri atas dua term yang berbeda, yakni “etika” merujuk pada kode etik atau seperangkat aturan yang seharusnya mengatur dan membimbing perilaku seseorang (Callicott & Frodeman, 2009) dan lingkungan (aspek fisik maupun nonfisik di luar manusia).
Ketika isu lingkungan mulai merebak pada dekade 60-an di seluruh dunia, terdapat dua aspek yang kemudian menjadi dominan, yakni sains (sebagai sebuah hal yang mendefinisikan sesuatu secara nyata), dan etika yang menjawab tentang hak dan kewajiban (Barry, 2017). Dari situ kemudian berkembang etika-etika lain yang harus dilakukan oleh manusia dalam rangka menghormati alam sebagai sebuah entitas di luar dirinya, misalnya etika tanah (land ethics), etika terhadap hewan (animal ethics), atau etika agrikultural (agricultural ethics).
BACA JUGA:Indonesia Emas yang Hijau dan Adil
Secara umum, etika lingkungan memberi manusia pegangan dalam beberapa hal, misalnya perlakuan terhadap alam yang penuh dedikasi dan tanggung jawab, pengambilan keputusan berkelanjutan dalam upaya mempertahankan kondisi alam demi generasi di masa depan, serta mendorong partisipasi aktif dalam upaya pemerataan keadilan dan keseimbangan bagi kelompok rentan yang terpapar oleh kebijakan-kebijakan eksklusif dan serampangan.
Ketika berbicara mengenai etika lingkungan, tidak dapat dikesampingkan mengenai penerapan prinsip-prinsip moral sebagai bentuk upaya menjaga lingkungan. Dalam puisi “Lautku yang Sepi Suara”, penulis berupaya memberi gambaran tentang etika lingkungan. Bahwa seharusnya manusia tidak hanya menganggap alam sebagai objek yang dikuras habis-habisan.
Kritik terhadap eksploitasi yang dilakukan para penambang di lautan lepas menggambarkan hubungan erat antara keselarasan nilai-nilai etika yang harus dijalankan dengan upaya pemanfaatan alam bagi kemaslahatan manusia. Tanpa berpijak pada prinsip etika lingkungan, manusia hanya akan habis oleh keserakahannya sendiri. Selain itu, tidak akan ada keberlanjutan di masa depan karena pada akhirnya sumber daya atau resources yang ada di alam akan habis pada satu titik tertentu.
Pentingnya Pertobatan Ekologis
Lantas, bagaimana dengan istilah “tobat ekologis” yang disampaikan oleh salah satu cawapres dalam sebuah acara debat? Merujuk pada artikel Mangadar Situmorang (Rektor Universitas Katolik Parahyangan) dalam Pikiran Rakyat (15 April 2017) yang berjudul “Pertobatan Ekologis”, rumusan tentang tobat ekologis hadir dalam Ensiklik Paus Fransiskus yakni Laudato Si’.