Belajar Penanggulangan Stunting dari Lombok Timur
Pj Bupati Lombok Timur, Drs H M Juaini Taofik MAP (tengah) berfoto bersama dalam diseminasi hasil temuan awal studi Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia di Lombok Timur, Selasa. (ANTARA/Indriani)--
Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), bisa menjadi contoh bagaimana komitmen dari pemerintah daerah berperan penting dalam penanggulangan stunting. Komitmen yang tinggi ditambah kolaborasi multi pihak serta kebijakan yang berbasiskan bukti dapat menjadi solusi dalam penanggulangan stunting.
Dalam beberapa tahun terakhir, tren stunting di kabupaten tersebut mengalami penurunan. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menyebut prevalensi stunting di Lombok Timur pada 2021 sebesar 37,6 persen atau menempati prevalensi tertinggi pertama di NTB. Kemudian pada 2022 mengalami penurunan dengan prevalensi 35,6 persen atau peringkat ketiga tertinggi di NTB. Prevalensi stunting terus menurun pada 2023 dengan persentase 27,6 persen berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI)
“Tokoh-tokoh agama kita sudah mulai bicara tentang pentingnya penanggulangan stunting. Ini menunjukkan suatu kemajuan besar dalam penanggulangan stunting,” ujar Pj Bupati Lombok Timur, Drs H M Juaini Taofik MAP, pada pembukaan diseminasi hasil temuan awal studi Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia di Lombok Timur, Selasa 10 September.
Secara umum, dasar pemikiran penanggulangan stunting dalam agama Islam tersebut ada dalam Al-Qur'an yakni Surat Annisa ayat 9, yang membahas kekhawatiran meninggalkan generasi yang lemah. Ayat Al-Qur'an tersebut juga membahas bagaimana bertutur kata yang baik pada anak.
BACA JUGA:Layanan Paylater Bertumbuh Ditengah Penurunan Daya Beli
Penanggulangan stunting diakui bukanlah persoalan yang mudah untuk ditangani. Penyebabnya, mulai dari persoalan gizi anak hingga praktik pernikahan dini yang masih berlangsung di masyarakat. Perlu keterlibatan banyak pihak untuk menekan prevalensi stunting di daerah tersebut. Pihaknya melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Kementerian Agama, yang mana calon pengantin harus mengikuti kelas pranikah. Calon pengantin baru bisa dinikahkan jika sudah mengikuti kelas tersebut dan mendapatkan surat keterangan.
Oleh karena itu, pemerintah desa juga didorong untuk membuat Peraturan Desa (Perdes) tentang usia perkawinan anak. Jika ada perangkat desa yang mengeluarkan surat keterangan sudah mengikuti kelas pranikah, tapi sebenarnya belum mengikuti kelas, maka akan dikenakan sanksi.
Hal itu membuahkan hasil. Jika sebelumnya anak perempuan yang sudah berusia 20 tahun tapi belum menikah akan dijadikan cemoohan, kini pola pikir tersebut mulai bergeser sejak adanya Perdes tersebut. Saat ini, yang menikah muda justru yang dijadikan cemoohan.
Dalam tiga tahun terakhir, pengalokasian anggaran di APBD selalu dikaitkan dengan stunting. Misalnya anggaran di dinas pertanian untuk ketahanan pangan pascapandemi juga dikaitkan dengan stunting. Bahkan pernah dalam satu tahun, Pemkab Lombok Timur menganggarkan anggaran sebesar Rp140 miliar untuk penanggulangan stunting.
Penting
BACA JUGA:Upaya Indonesia-Afrika Wujudkan Ketahanan Pangan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur, Dr H Fathurrahman SKM MM, menjelaskan bahwa stunting menjadi persoalan penting untuk diatasi bersama.
Konsep pengendalian stunting di kabupaten tersebut terdiri dari tiga bagian yakni dasar (analisa jurnal dan analisa laporan), pendekatan (perguruan tinggi dan regulasi), serta metode implementasi (konvergensi yang menggabungkan intervensi spesifik dan sensitif). Untuk kerja sama perguruan tinggi, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur menggandeng Universitas Indonesia, Universitas Mataram dan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Sementara untuk regulasi, dengan lahirnya Peraturan Bupati dan Peraturan Desa (Perbup dan Perdes).
Dalam implementasi pengendalian stunting, terdapat Perbup terkait stunting yang kemudian diturunkan melalui Peraturan Desa Perkawinan Anak dan Peraturan Dana Desa untuk Stunting.