Melawan Pelecehan Verbal dengan Berani Bicara

Perempuan berpeluang menjadi sasaran pelecehan verbal ketika berada di tengah keramaian publik yang menghadirkan kerumunan manusia dari berbagai tempat seperti pada kegiatan Car Free Day di Kota Bekasi, Jawa Barat. (ANTARA/Zita Meirina)--

Sementara itu, platform TikTok, baru-baru ini mengunggah kasus pelecehan terhadap dua tamu perempuan di sebuah restoran di Jakarta Selatan yang mendapat perlakukan tidak pantas dari oknum pramusaji saat menerima tagihan untuk pemesanan makanan yang terdapat tulisan tangan berupa kata-kata tidak pantas berkonotasi seksual dan menyerang secara fisik terhadap salah satu tamu perempuan itu.

BACA JUGA:Mengurai Jerat Judi 'Online' yang Memelaratkan

Setelah ramai di media sosial, pemilik restoran melakukan investigasi dan mengambil tindakan pemecatan terhadap oknum pramusaji tersebut sehingga mengundang pujian dari warganet.

Kasus-kasus pelecehan, khususnya verbal, layaknya seperti fenomena gunung es. Bila korban berani berbicara atau speak up tanpa rasa takut, maka kasusnya bisa menjadi viral dan mendapatkan solusi.

Namun tidak demikian, bagi sebagian orang, seperti anak-anak, khususnya remaja dan perempuan dewasa yang tidak memiliki nyali untuk mengungkapkan peristiwa tersebut. Alih-alih menulis di media sosial, mengadu kepada orang tua atau teman dekat saja merasa malu.

Belum lagi, munculnya kekhawatiran akan adanya intimidasi dari pihak terkait, baik pelaku pribadi, kelompok hingga mewakili instansi atau perusahaan yang umumnya akan bertindak resisten dan menutup-nutupi permasalahan.

BACA JUGA:Fengshui, Ilmiah atau Takhayul?

Pelecehan seksual verbal dapat dikategorikan suatu delik aduan yang berpotensi sebagai perbuatan pidana. Pelecehan seksual verbal (catcalling) dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang telah memenuhi unsur-unsur, asas dalam hukum pidana, serta nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat.

Pelecehan verbal dapat dikenakan tindak pidana mengacu pada UU Tindak Pidana Kekerasan SOsial (TPKS). Tindakan tersebut dapat dikenakan menurut Pasal 5 UU TPKS, pelecehan verbal dan pelecehan nonfisik lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.

Upaya mencegah terjadinya pelecehan verbal sejatinya dimulai dari keluarga, orang tua sering kali lebih memprioritaskan mengajari anak-anak mereka tentang keamanan, keselamatan dan kesehatan, namun sayangnya, banyak yang mengabaikan pentingnya mendidik anak tentang batasan pribadi.

Psikolog anak dan remaja Ratih Zulhaqi mengatakan anak dan remaja perlu diajarkan tentang pendidikan seksual dan relasi yang sehat agar bisa membedakan yang benar dan salah dan mencegah terjadinya pelecehan seksual.

BACA JUGA:Peran Otonomi Daerah dalam Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Ratih yang merupakan alumni dari Universitas Indonesia mengingatkan tentang pentingnya edukasi ini penting agar anak dan remaja mengerti sejauh mana batas privasi dirinya dan mengetahui jika situasinya sudah mengarah ke pelecehan seksual.

Selain itu, anak perlu juga diajarkan cara menjaga diri saat dalam situasi mengarah ke pelecehan seksual dengan berani bertindak tegas dengan mengungkapkan perasaan tidak nyaman seseorang.

Kepedulian masyarakat terhadap catcalling dan pelecehan verbal di tempat umum sangat minim, sehingga mengakibatkan reaksi masyarakat yang relatif apatis ketika menemukan tindakan pelecehan itu.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan