Pancasila dan Digitalisasi Menuju Indonesia Emas 2045
Pekan Kebudayaan Betawi yang digelar dalam memperingati Hari Lahir Pancasila di Jakarta Utara pada Minggu (2/5/2024).ANTARA/HO-Polres Jakut--
BACA JUGA:Ekonomi Indonesia Mampu Tunjukkan Kinerja Solid
Darul Ahdi ini juga dapat diartikan dengan dar assalaam atau negeri yang penuh dengan kedamaian. Sementara makna lain dari "wa syahadah" persaksian atau terbukti bahwa umat Islam harus berperan aktif dalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan bahwa "Pancasila kembali kepada umat Islam yang memang punya ideologi itu" agaknya merujuk pada perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dengan melibatkan Soekarno (Ketua), Moh. Hatta (Wakil), dan anggota (Achmad Soebardjo, Mohammad Yamin, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, dan AA Maramis).
Tokoh-tokoh Islam berperan dalam perumusan "Piagam Jakarta" sebagai inti dari Pembukaan UUD 1945, yang justru tidak memihak syariat Islam, asalkan Islam dapat berkembang leluasa. Itulah pandangan moderasi beragama yang memadukan kemajemukan, tapi perpaduan itu tidak meniadakan hak pribadi yang justru dirangkul secara harmonis.
Apalagi, Islam pun memahami perbedaan sebagai keniscayaan yang tak mungkin disatukan, kecuali dalam pola saling kenal.
Tantangan digitalisasi
BACA JUGA:Kontribusi Pegadaian Jaga Ketahanan Pangan Nasional Lewat TGIF
Hanya saja, menjelang abad kedua Indonesia pada tahun 2045, persoalan yang sudah selesai terkait bentuk dan ideologi negara (Pancasila) dan persoalan kewilayahan, tetap saja muncul persoalan dalam bentuk digital, yang intinya sama untuk menyoal ideologi, bentuk negara, dan kemajemukan bangsa.
Misalnya, sila pertama, kedua, dan ketiga Pancasila menghadapi sikap dan praktik beragama secara ekstrem/radikal serta mengabaikan kemanusiaan serta kemajemukan bangsa melalui ajaran yang memaksakan tafsir agama dan ideologi melalui sarana digital.
Tidak hanya itu, sila keempat dan kelima Pancasila pun menghadapi tekanan politik, ekonomi, dan budaya secara digital. Pengaruh politik digital, ekonomi digital, dan budaya digital itu seakan-akan mempermudah kehidupan, namun sejatinya kita masuk pada jebakan orang atau negara lain untuk keuntungan sepihak.
Dulu, media massa adalah koran, majalah, radio, televisi, dan sejenisnya, tapi sekarang ada media sosial dengan segala bentuknya, yang tentu berbeda secara konten.
BACA JUGA:Siasat Bergaul di Jagat Tanpa Sekat
Kalau media massa itu selalu terjamin kebenarannya karena ada proses konfirmasi narasumber, kompetensi, kroscek, objektif, dan kepentingan publik, tapi media digital/medsos tanpa diikuti dengan semua proses yang benar itu. Bahkan, saat ini dikenal adanya "jebakan" framing (pemelintiran). Tidak jarang framing itu justru berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila yang pengaruhnya merasuk secara halus melalui digitalisasi.
Itu masih tantangan digitalisasi dalam agama dan politik, padahal tantangan digitalisasi dalam ekonomi dan budaya juga tak kalah berbahaya, karena bisa menjurus pada kolonialisme yang tak disadari, akibat proses digitalisasi yang sangat halus.
Contohnya, aplikasi TikTok yang semula bersifat sosial, tapi akhirnya memajang sarana jual beli. Itu baru satu aplikasi, padahal aplikasi asal Amerika, China, dan sebagainya, bukan sekadar aplikasi yang bersifat teknologi murni tanpa kepentingan ekonomi, politik, budaya, agama, dan sebagainya. Semua aplikasi itu rata-rata memiliki pengguna diatas 100 juta masyarakat Indonesia.