Pancasilais Dalam Dialektika Demokrasi Kita
Ilustrasi, Pancasila--
Tiga bulan lalu, masyarakat Indonesia telah menggelar pemilihan umum (pemilu) dan empat bulan lagi akan ada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di hampir semua wilayah di Indonesia.
Di antara dua hajat politik besar itu, di tengahnya terdapat peringatan lahirnya Pancasila. Ini merupakan pengingat bahwa nilai-nilai persatuan yang termaktub dalam Pancasila harus tetap terjaga di tengah dinamika dua peristiwa politik yang terjadi di tahun yang sama.
Dalam gelaran pemilu ke-13 yang telah dilaksanakan sejak Indonesia merdeka, masalah politik uang masih menjadi residu yang paling seia-sekata dengan usia demokrasi di Indonesia atau, bahkan bisa lebih tua lagi.
Anda tidak perlu menjadi seorang terpelajar guna mengakses data statistik tentang praktik politik uang di Indonesia. Apalagi harus repot-repot melakukan operasi intelijen untuk membuktikan itu.
BACA JUGA:Eco-vision Calon Kepala Daerah Menuju Masa Depan Berkelanjutan
Politik uang dalam perhelatan hajat demokrasi kita lebih menyilaukan dari cahaya Matahari di jam setengah satu siang. Di tahun politik, cukup dengan membuka mata, anda bisa langsung menyaksikannya. Atau untuk yang tuna netra, sekurang-kurangnya bisa mendengar dan merasakannya.
Kendati demikian, perlu diingatkan bahwa kita perlu merangkak dari ruang berpikir semi determinatif menuju pandangan yang lebih dialektis. Tujuannya agar kita tidak salah memosisikan pandangan dan mengumpat, seolah kontestasi politik yang sarat biaya hanya menjadi surganya kaum elit.
Secara samar, kita tentu tidak enak menyaksikan ada caleg atau calon kepala daerah yang sedang mengundang masyarakat ketika yang bersangkutan menyosialisasikan visinya tanpa keberadaan air mineral, camilan, dan makanan berat (kecuali itu bulan puasa). Ketidakenakan itu muncul dari persangkaan masyarakat yang akan menilai sang calon sebagai seorang yang kikir lewat ungkapan "pohara dak" (keterlaluan saudara-saudara).
Apakah persangkaan atau umpatan diam-diam dari masyarakat itu salah? Tidak. Mengapa demikian? Ya karena masyarakat telah "menyedekahkan" waktu serta perhatiannya untuk mendengarkan visi yang disampaikan si calon. Karena, dalam konteks interaksi sosial, perasaan "pekewuh" (tidak enakan) itu penting. Perasaan tidak enak jika merepotkan orang lain, tanpa menyuguhkannya sesuatu yang wajar, adalah pantulan naluriah Pancasila kita.
BACA JUGA:Luasnya Peluang Ekspor Durian Indonesia
Hanya saja, mengapa pemberian di tahun politik cenderung diasosiasikan sebagai sesuatu yang salah? Ya, karena kebanyakan orang dalam pikirannya terpenjara dalam sudut pandang dimensi politik yang parsial, sehingga apa-apa disangkupautkan sebagai peristiwa politik. Padahal peristiwa memberi dengan rela hati dan menerima dengan senang hati dalam ruang interaksi merupakan perwujudan dari peristiwa sosial. Dan yang namanya peristiwa sosial memiliki dimensi yang jauh lebih luas, yang memungkinkan terjadinya interseksi dengan peristiwa politik, tidak terkecuali di tahun politik.
Meskipun demikian, membubuhkan frasa interseksi (persinggungan) juga tidak cocok bila diletakkan dalam konteks antropologi sosial kita dengan suasana penuh keakraban dan sarat dengan perasaan tidak enakan tadi. Jadi, bagi para pemerhati demokrasi maupun akademisi yang bergelut dan mencermati praktik pembiayaan politik agar tidak melakukan generalisasi dalam ruang interaksi masyarakat kita.
Hal yang tidak boleh adalah, tanpa interaksi, tanpa pemaparan visi, tanpa tegur sapa, tiba-tiba uang atau barang pengganti uang, dikirim ke bilik-bilik rumah menjelang hari pencoblosan atau ketika hari pencoblosan, dengan tujuan agar menjatuhkan pilihan kepada si pemberi. Itu yang tidak boleh.
Lalu bukankah membenarkan praktik suguhan aneka jenis makanan berulang-ulang di berbagai tempat ketika masa kampanye sama halnya memberi jalan yang luas terhadap kontestan dari kalangan elit saja untuk memimpin? Sayangnya, semua hal tidak selalu bisa dijelaskan dengan pertanyaan yang simplifikatif. Bahwa dalam proses politik, termasuk kampanye di dalamnya, pasti memerlukan pembiayaan. Dan pembiayaan politik bisa datang dari mana saja, sejauh sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan oleh penyelenggara pemilu.