Stafsus Dirut Timah Diperiksa Terkait Korupsi Timah Babel, Bersama 5 Saksi Lainnya
Kapuspenkum Kejagung RI Ketut Sumedana --
Hingga saat ini, angka pasti kerugian negara belum dirilis oleh Kejagung karena masih menunggu perhitungan dari lembaga resmi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
BACA JUGA:Wisuda Tidak Lagi Diizinkan, Perpisahan Disarankan di Sekolah
BACA JUGA:Derita Karyawan Smelter dan Pabrik Sawit di Babel, Pesangon Terbengkalai Akibat Korupsi Timah?
Pada penetapan dan penahanan lima tersangka pada Jumat, 16 Februari 2024, Kejagung menyatakan bahwa perhitungan kerugian negara masih dalam proses. Namun, tindakan para tersangka diduga menyebabkan kerugian keuangan negara yang diperkirakan lebih besar daripada kasus korupsi lainnya seperti PT ASABRI dan Duta Palma.
Untuk diketahui, kerugian negara dalam kasus Tipikor PT ASABRI mencapai Rp 22,78 triliun, yang saat ini merupakan kerugian terbesar selain kerugian lingkungan seperti yang diduga dalam kasus timah ini.
Penahanan dua tersangka berikutnya pada Sabtu, 17 Februari 2024, kembali menegaskan bahwa tindakan para tersangka menyebabkan kerugian negara yang signifikan, meskipun hasil perhitungannya masih ditunggu oleh Tim Penyidik.
Pada Senin sore, 19 Februari 2024, Kejagung melalui Direktur Penyidikan Jampidsus, Kuntadi, menetapkan tersangka lain yaitu RL (Rosalina) yang menjabat sebagai General Manajer PT Tinindo Internusa. Namun, kerugian negara belum diumumkan karena masih menunggu perhitungan resmi dari lembaga negara.
Meski demikian, Kejagung menghadirkan ahli lingkungan sekaligus akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Bambang Hero Saharjo, yang melaporkan bahwa nilai kerugian ekologis atau kerusakan lingkungan akibat penambangan timah di Bangka Belitung mencapai Rp 271.069.688.018.700.
BACA JUGA:Kontroversi Uang Kuliah Tunggal di Beberapa PTN, Protes Mahasiswa Terus Mengalir
BACA JUGA:Bukan di Babel, Alasan Pabrik Timah 400 Miliar Dibangun di Batam
Sampai saat ini, perhitungan resmi dari BPKP belum keluar, sehingga perhitungan versi ahli lingkungan tersebut menjadi acuan publik.