James Camino

Dahlan Iskan--

Saya pilih langsung tidur. Toh saya perlu makanan untuk sarapan besok. Masakan James itu gratis. Daripada 70 dolar di cafe hotel.

BACA JUGA:Timah Kolektor

Bangun tidur saya harus pilih komentar pilihan di Disway. Lalu menulis 'Michael Jackson This Is It' untuk edisi kemarin. Senam. Sendirian. Satu jam. Kamar ini cukup luas untuk senam. Udara di luar 18 derajat Celsius. Gerimis.

Waktunya sarapan. Dengan takut-takut saya cicipi sambal goreng tempe itu. Wow! Kaget. Enak sekali. Sangat Indonesia. Setara rasa dengan masakan istri.

Lalu saya cicipi nasi uduknya. Juga lezat. Tempenya. Tahunya. Bihunnya. Semua enak sekali. Tak terasa semua makanan itu ludes!

Sorenya, sepulang dari ruang pengadilan tempat Donald Trump disidangkan, saya bertemu James. Di Queens. Makan malam. Di resto Bamboo --milik wanita alumni St. Louis Surabaya.

"Hi James. Benarkah itu Anda yang masak? Saya gak percaya. Enak luar biasa", kata saya.

"Masak, menciptakan lagu, dan merancang desain arsitektur itu sama. Harus pakai hati," jawab James.

Sialan. Jawaban itu enak sekali untuk dikutip sebagai direct quotation. Wartawan suka dengan jawaban seperti itu, hanya kadang diabaikan.

Di samping mencipta lagu James Anda sudah tahu: ia seorang arsitek. Masuknya di ITB, lulusnya di Taruma Negara.

Masakan, lagu dan desain arsitektur itu harus saling menyempurnakan. Hilang salah satunya hidup tidak akan lengkap. Itu masih kata-kata James.

"Makanan untuk kenikmatan mulut. Lagu untuk kenikmatan telinga. Desain arsitektur untuk kenikmatan mata," kata James.

Tapi kenapa suka di dapur?

"Tempat yang paling hangat adalah di dapur," jawabnya. Saya pun terbahak. Benar sekali. Apalagi di musim dingin.

James pintar masak apa saja. Pun soto. Ketoprak. Gado-gado. Yang belum bisa: rawon. Saya pun ingin menduetkan James dengan istri saya. Suatu saat.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan