Timah Kolektor
Dahlan Iskan--
RAKYAT Bangka Belitung kini punya dua doa. Satu: semoga kasus korupsi timah segera tuntas agar ekonomi di sekitar itu berputar lagi.
Doa kedua: agar usulan lama tambang rakyat 6.500 hektare segera disetujui.
Tambang rakyat itu sudah lebih 5 tahun diusulkan. Usulan di tingkat daerah sudah tuntas. Semua pihak di daerah sudah setuju. Bagus. Solusi.
Pemerintah pusat masih sulit menyetujui. Sampai muncul humor di sana: DPR kini bisa lebih cepat setuju dari pada pemerintah.
Sepanjang dua doa itu belum ada yang dikabulkan, rakyat yang hidup dari timah di sana tidak lagi punya penghasilan. Mencuri Timah pun kini sulit –karena tidak ada lagi penadah yang berani menampung hasil curian mereka.
BACA JUGA:DK Jakarta
BACA JUGA:Visa Diaspora
Di sana tidak ada istilah penadah. Istilah itu sudah lebih diperhalus menjadi pengepul. ''Penadah'' kesannya negatif. ''Pengepul'' lebih terasa bisnis.
Lama-lama istilah ''pengepul'' pun menjadi negatif. Terutama kalau lagi musim penegakan hukum: para pengepul ditangkap.
Maka belakangan istilah ''pengepul'' tidak dipakai lagi. Diganti dengan istilah ''kolektor''.
Kolektorlah yang menampung timah hasil usaha rakyat. Lalu kolektor mengirim timah ke pabrik peleburan swasta. Pabrik peleburan milik PT Timah (BUMN) tidak berani menerima bahan baku dari kolektor.
Penyebabnya Anda sudah tahu: kolektor tidak akan bisa menunjukkan dokumen asal usul barang. Dari mana. Dari tambangnya siapa. Izin tambangnya mana.
BACA JUGA:Catch Kill
BACA JUGA:Inisial B
Tanpa bertanya pun PT Timah sebenarnya tahu: barang itu diambil dari lokasi tambang PT Timah sendiri.
Begitulah. Maka produksi timah swasta lebih besar daripada PT Timah. Setidaknya dalam rasio antara luas tambang dan hasil produksi.
Penambang rakyat juga selalu terombang-ambing. Kalau lagi ada masalah begini mereka memang tidak ditangkap tapi ikut mati.
Matinya bisa lama bisa juga sebentar. Kalau masalah hukum sudah reda mereka hidup lagi. Sampai ada masalah hukum berikutnya. Berulang terus begitu.