Bantuan Gizi: Gagasan atau Gimik Politik?
SUNARDI SISWODIHARJO--
PARA tokoh serta pemikir kebangsaan selalu menyerukan terjadinya adu gagasan berkualitas pada kontestasi Pilpres 2024 ketimbang sekadar adu gimik politik yang terkadang berlebihan. Salah satu gagasan yang mendapatkan perhatian luas dari masyarakat adalah program perbaikan indeks status gizi masyarakat. Yakni, melalui bantuan makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah, termasuk pesantren, serta bantuan gizi untuk balita dan ibu hamil.
Sorotan tajam untuk program ini terkait perkiraan penggunaan anggaran hingga Rp 400 triliun per tahun dengan lebih dari 80 juta penerima bantuan. Isu distribusi bantuan yang harus tepat sasaran, merata, serta berkeadilan juga masih menjadi salah satu persoalan utama.
Apakah gagasan ini benar-benar realistis? Atau sebaliknya, menemui banyak kegagalan dan hanya akan menjadi gimik politik belaka di gelaran Pilpres 2024?
BACA JUGA:Merdeka Mengajar Sebagai Pintu Merdeka Belajar Peserta Didik
BACA JUGA:Opsi Solusi Pengungsi Rohingya
Rasio Kemandirian Rendah
Sangat mudah dipahami jika program bantuan gizi seperti di atas dijadikan quick win program atau program yang mampu memberikan dampak atau hasil yang cepat bagi penerima manfaat. Namun, program seperti ini cenderung populis dan kurang mempertimbangkan aspek keberlanjutan.
Salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan gagasan tersebut adalah masih rendahnya rasio kemandirian (self-sufficiency ratio/SSR) bahan baku susu di Indonesia serta tingginya rasio ketergantungan impor (import dependency ratio/IDR). Bahkan bisa dikatakan Indonesia saat ini sedang mengalami darurat bahan baku susu. Musababnya, hingga 2022, berdasar data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya sebesar 968.980 ton dari kebutuhan nasional yang mencapai 4,4 juta ton.
Artinya, nilai SSR hanya sekitar 20 persen. Sebaliknya, nilai IDR masih sangat tinggi sekitar 80 persen. Sebuah kondisi tingkat ketergantungan impor yang sangat tinggi, dampaknya akan sangat terasa jika terjadi gangguan sistem produksi dan distribusi dari negara pengekspor bahan baku susu. Impor bahan baku industri susu umumnya berupa padatan susu (milk solid) seperti skim milk powder, whole milk powder, dan full milk powder. BPS mencatat Indonesia selama Januari–Oktober 2022 mengimpor susu senilai USD 1,08 miliar atau setara Rp 16,71 triliun.
Data BPS yang lain menyebutkan, populasi nasional sapi perah pada 2022 baru mencapai 592.897 ekor. Jumlah ini juga relatif stagnan dari tahun ke tahun. Dengan kalkulasi sederhana, sesungguhnya masih dibutuhkan sapi perah hingga 2 juta ekor lagi agar seluruh kebutuhan produksi susu nasional terpenuhi seluruhnya dari dalam negeri.
Selain itu, produktivitas masih menjadi masalah. Sapi perah di Indonesia rata-rata hanya memproduksi 10 hingga 11 liter per ekor per hari. Jauh dari produksi susu sapi negara lain yang bisa mencapai 30 liter, bahkan 60 liter per hari. Sayangnya, hingga saat ini, angka produksi dan produktivitas ternyata tak jauh bergerak.
Pada saat program bantuan susu gratis untuk anak sekolah dijalankan, diperkirakan akan dibutuhkan tambahan ketersediaan susu sebesar 4 juta ton per tahun. Perhitungan tersebut merujuk pada jumlah murid di Indonesia sebanyak 53,14 juta orang pada semester ganjil tahun pelajaran 2023–2024 sesuai laporan Kemendikbudristek.
Jika produksi susu nasional relatif stagnan, bisa dipastikan pelaksanaan program bantuan gizi berupa susu gratis akan dipenuhi dari bahan baku susu impor. Kondisi ini jelas tidak sehat secara fiskal sebab akan menggerus devisa negara hingga puluhan triliun. Selain itu, anggaran Rp 400 triliun diperkirakan akan mengambil atau setidaknya mengurangi dari pos bujet lainnya, misalnya dari anggaran pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Semoga saja anggarannya bukan berasal dari utang negara.
Inherent Benefits