Salat Diskon

Dahlan Iskan--

Mengapa bukan dipersingkat menjadi 8 rakaat plus tiga? Seperti banyak dilakukan di Indonesia? 

Juga tidak bisa didapat penjelasan. Dan lagi untuk apa juga disoal. Ini kan salat sunah. Bukan wajib. Bagi yang mau lebih singkat bisa mengurangi sendiri. Yang mau lebih lama bisa menambah sendiri. 

Perubahan lain: jangan harap bisa salat di dalam masjid Haram kalau tidak berpakaian ihram. Tujuannya tentu baik: memprioritaskan orang yang datang untuk umrah. Yang sudah selesai umrah bisa salat di halaman. Atau di mana saja.

BACA JUGA:Kalah Takut

BACA JUGA:Tersiksa Jendela

Dulu, setelah selesai umrah kita bisa salat di dalam masjid. Tidak perlu lagi pakai ihram. Bahkan tawaf pun boleh tanpa ihram.

Kini tanpa pakaian ihram jangan harap bisa masuk masjid.

Pakaian ihroa menjadi tiket masuk. Orang pun bersiasat: menipu petugas. Mereka ke masjid pakai pakaian ihram. Bukan karena mau umrah.

Demikian juga saat mau tawaf terakhir sebelum meninggalkan Makkah (tawaf wadak); dulu tidak perlu pakai ihram. Sekarang harus pakai ihram agar bisa tawaf di seputar Kakbah. 

Dan itu sebenarnya tidak perlu. Tanpa pakaian ihram tawaf tetap bisa dilakukan. Misalnya di lantai 2, atau 3, atau 4 atau di roof top. Satu putaran tawaf sejauh 1 km. Itu sering saya lakukan.

Kali ini saya harus ikut maunya istri: tawaf di dekat Kakbah. Maka kami pun bersiasat: pakai pakaian ihram. Berhasil tawaf dekat Kakbah. Dengan begitu istri merasa lebih tawaf daripada tawaf. 

BACA JUGA:Depan Belakang

BACA JUGA:Risang Bima

Saya sendiri setiap kali tawaf, kepikiran hajar aswad: batu hitam di pojok Kakbah itu. Bagaimana bisa orang berebut ibadah dengan cara menyakiti orang lain: menyikut, menarik, menginjak, menendang: rebutan mencium batu hitam itu.

Maka kalau ada ide menaikkan posisi batu itu lebih tinggi saya akan mendukung. Agar adil: semua bisa melihatnya sambil melakukan tawaf. Lalu bisa melambaikan tangan ke arahnya. Tanpa harus mencium lagi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan