'Green Inflation' dan Pemanfaatan Energi Hijau
ilustrasi, Green inflation dan pemanfaatan energi hijau.(Antara)--
Terlihat tren harga energi terbarukan makin kompetitif. Tinggal sekarang bagaimana mengelolanya agar tidak terjadi greenflation seperti di negara lain.
Narasi seputar inflasi hijau didorong oleh apa yang terjadi di negara-negara Barat. Secara keseluruhan, inflasi jauh lebih rendah di Asia Pasifik, di mana kebijakan iklim berada pada tahap implementasi yang jauh lebih awal dan tidak ada kendala yang sama pada sektor bahan bakar fosil.
Selain itu, tertundanya pembukaan kembali perekonomian Asia pascapandemi telah menyebabkan tingkat aktivitas lebih lemah.
BACA JUGA:Negeri Jiran pun Menunggu Hasil Resmi Pemilu Indonesia
Solusi green inflation
Dalam waktu dekat, beberapa solusi kiranya bisa mereduksi kemungkinan green inflation. Kendaraan listrik, misalnya, lebih mahal dibandingkan kendaraan bermesin pembakaran internal.
Namun kendaraan listrik relatif mengalami penurunan paling besar, dan hal ini juga berlaku pada berbagai teknologi terbarukan, seperti fotovoltaik tenaga surya.
Akan tetapi, kekuatan-kekuatan yang tampak bersifat inflasi saat ini dapat menjadi disinflasi di masa depan. Akan tiba saatnya harga komoditas turun, dan sebagai importir komoditas besar, Asia Tenggara kelak akan menjadi penerima manfaat terbesar.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia dilimpahi berbagai jenis energi terbarukan, baik tenaga surya, bayu, panas bumi, arus laut ombak, maupun bioenergi.
Menurut data Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.600 gigawatt (GW) yang didominasi tenaga surya. Namun besarnya penggunaan energi fosil menjadikan pemanfaatan energi terbarukan masih rendah.
BACA JUGA:Hilirisasi Pangan dan Minerba Pacu Pertumbuhan Ekonomi
Sejumlah upaya dilakukan Pemerintah, salah satunya lewat regulasi Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Namun selain masih memerlukan aturan-aturan turunan, keterbatasan teknologi dan pembiayaan masih menjadi hambatan dalam pengembangan energi terbarukan.
Sejumlah strategi lain telah disiapkan Kementerian ESDM, di antaranya peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan, implementasi program PLTS atap, mandatori biodiesel B35/B40, dan program co-firing pada PLTU.
Kendati masih banyak kendala dan tantangan, energi terbarukan sejatinya berkait dengan masa depan lingkungan dan Bumi. Potensinya yang melimpah di dalam negeri mesti dioptimalkan berdasar perencanaan matang, berkelanjutan dan inklusif.