'Green Inflation' dan Pemanfaatan Energi Hijau
ilustrasi, Green inflation dan pemanfaatan energi hijau.(Antara)--
Di sisi hulu, penyebab tingginya biaya produksi PLTS salah satunya adalah komponen yang masih diimpor, bila modul surya bisa diproduksi dalam negeri, tentu ongkos produksi PLTS bisa ditekan. Pemerintah harus memberikan insentif kepada industri untuk memproduksi hal-hal yang berkaitan dengan energi terbarukan, termasuk energi surya.
Istilah green inflation mulai populer pascapandemi di Uni Eropa, ketika harga-harga komoditas sumber daya kehutanan dan pertanian di negara-negara Eropa Barat dan kawasan Skandinavia melonjak karena pasokan yang tersedia tidak dapat memenuhi tingkat permintaan sehingga memicu kelangkaan barang.
Jumlah permintaan terhadap komoditas tertentu di kawasan tersebut meningkat seiring masifnya pemanfaatan bioenergi. Pada akhirnya, inflasi harga yang terjadi terhadap bahan baku bioenergi berdampak pada sektor produksi yang lain dan ekonomi secara umum.
BACA JUGA:Optimisme Pengembang Properti Pacu Pertumbuhan Ekonomi
Meningkatkan kapasitas energi hijau
Kiranya perlu belajar dari pengalaman Brasil, yang diketahui sangat masif dalam pengembangan energi terbarukan, khususnya bioetanol yang bersumber dari tebu atau singkong, serta biodiesel dari kelapa sawit.
Bahan baku tersebut jadi perebutan antara sektor energi dan sektor pangan sehingga kelangkaan memicu terjadinya greenflation. Pada awal 2022, Indonesia juga pernah mengalami kelangkaan minyak goreng karena CPO (minyak kelapa sawit mentah) sebagai bahan baku minyak goreng, juga diserap untuk produksi biodiesel, artinya Indonesia pernah mengalami greenflation meski secara parsial.
Antisipasi inflasi ramah lingkungan (green inflation) akan menjadi agenda pemerintah mendatang (2024--2029), mengingat kenaikan harga energi telah menyebabkan gejolak sosial dan masalah ekonomi.
BACA JUGA:Optimisme Pengembang Properti Pacu Pertumbuhan Ekonomi
Green inflation sering mengacu pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diterapkan sebagai bagian dari transisi hijau.
Sebagaimana narasi tersebut, greenflation merupakan konsep yang menggambarkan naiknya harga barang-barang ramah lingkungan akibat tingginya permintaan terhadap bahan bakunya, namun pasokannya tak mencukupi.
Akibatnya terjadi inflasi imbas dari transisi energi itu. Harga energi terbarukan memang tergolong mahal dibandingkan dengan energi berbasis fosil, yang sudah lebih lama berkembang.
Merujuk data Kementerian ESDM, keekonomian energi terbarukan sudah lebih kompetitif. Semisal harga jual listrik pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Sulawesi Selatan mengalami penurunan, dari 10,9 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh) pada 2016, menjadi 6 sen per kWh untuk 2024.
BACA JUGA:UMKM Kopi Bengkulu Bangkit Setelah Nyaris Bangkrut
Adapun harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata, Jawa Barat, adalah 5,8 sen dollar AS per kWh.