#KaburAjaDulu, Pelarian atau Perlawanan Sosial?

Ares Faujian-Istimewa-
Di pusaran arus media sosial, kata-kata berloncatan bagai riak di samudra digital, mengukir jejak dalam benak banyak orang. Di antara pusaran itu, tagar #KaburAjaDulu muncul di Indonesia bak mantra penyelamat bagi mereka yang lelah menanggung beban dunia.
Jika dahulu kita diajarkan di sekolah atau di keluarga untuk menghadapi masalah dengan penuh keberanian, mengapa kini banyak orang justru memilih ”kabur”? Apakah ini bentuk kemunduran mental, atau justru adaptasi cerdas terhadap dunia yang semakin menekan?
Fenomena sosial anak muda dan masyarakat Indonesia lainnya yang lebih memilih hidup di luar negeri dibandingkan di Indonesia sendiri ini menjadi refleksi bersama. Tentunya hal ini dipicu oleh beberapa penyebab (Mecadinisa, 2025), antara lain: kondisi ekonomi yang sulit, kesenjangan sosial yang tinggi, kondisi politik yang tidak stabil, hingga kurangnya fasilitas dan infrastruktur.
Penyebab-penyebab ini tentunya hanya sebagian dari yang tampak. Layaknya seperti fenomena gunung es, ada banyak hal lainnya yang menjadi penyebab tergeraknya sebagian orang di Indonesia ke negara lain untuk menyambung hidup. Misalnya, penghargaan kinerja yang lebih baik, peluang maju berkarier (usaha dan pendidikan), pendapatan yang lebih banyak, lingkungan sosial yang lebih aman dan nyaman, dsb.
Survei GoodStats tentang ”Alasan Orang Indonesia Memilih Bekerja di Luar Negeri” pada Februari 2024 terhadap 1.012 responden menunjukkan bahwa Taiwan dan Jepang menjadi negara pilihan utama orang Indonesia untuk bekerja di luar negeri, diikuti oleh Arab Saudi, Hong Kong, Korea Selatan, dan negara lainnya.
Dalam survei ini mendeskripsikan bahwa faktor utama yang memengaruhi keputusan orang Indonesia memilih bekerja di luar negeri adalah standar gaji yang besar (40%), kondisi negara yang aman (31%), serta lapangan kerja yang luas (27%).
Sementara itu, faktor seperti jenjang karir, suasana negara, dan kemudahan bahasa memiliki persentase lebih kecil sebagai alasan lainnya. Meskipun bahasa bisa menjadi tantangan, hanya 15% responden yang mempertimbangkannya sebagai faktor utama dalam memilih negara tujuan bekerja.
Dari kacamata sosiologi, fenomena #KaburAjaDulu ini dapat dibaca dalam berbagai perspektif, mulai dari teori strukturasi Anthony Giddens, resistensi ala James C. Scott, hingga logika hiperrealitas Jean Baudrillard. Kita bisa belajar dari fenomena ini dan memiliki berbagai sudut pandang, bahwa ternyata manusia berperilaku sesuai hubungan kausalitas. Artinya, ada sebab, ada akibat.
BACA JUGA:Soal #KaburAjaDulu: WNI Sebut Bukan Tak Nasionalais, Hanya Memanfaatkan Peluang
Kabur sebagai Survival Mode
Banyak yang menganggap bahwa melarikan diri dari masalah adalah tindakan pengecut. Namun, dalam kondisi tertentu, kabur justru sebenarnya merupakan salah satu strategi bertahan hidup. Dalam teori strukturasi Giddens, individu bukanlah aktor pasif yang hanya dikendalikan oleh struktur sosial, tetapi juga memiliki agensi, yaitu kemampuan untuk bertindak dan menavigasi hidupnya sendiri.
Chatterjee, et al. (2019) menyebutkan dalam kajiannya “Anthony Giddens and Structuration Theory” bahwa struktur dan agensi saling membentuk, sebagai dualitas, tak terpisahkan seperti dua sisi mata uang. Struktur menyediakan aturan dan sumber daya yang membentuk tindakan individu, sementara tindakan individu secara kolektif dapat mereproduksi atau mengubah struktur yang ada.
Misalnya, dalam dunia kerja, aturan perusahaan mengatur bagaimana karyawan berperilaku, tetapi jika banyak karyawan menuntut fleksibilitas kerja dan praktik itu diterima, maka aturan perusahaan pun dapat berubah untuk menyesuaikan dengan tuntutan baru tersebut. Untuk fenomena #KaburAjaDulu, tekanan yang berlebihan dapat mendorong individu mengalami burnout atau kelelahan. Alih-alih terus bertahan dalam kondisi yang merusak mental dan fisik, seseorang memilih untuk keluar sejenak, rehat, atau bahkan berpindah pekerjaan.
Hal ini tentunya akan membuat perusahan atau pemerintah di daerah tertentu berpikir agar aset SDM terbaiknya tidak akan pindah ke negara lain dengan tawaran yang menggiurkan. Fenomena quiet quitting (berhenti diam-diam) yang sempat ramai dibicarakan di media sosial juga memiliki akar yang sama: bukan berarti malas, tetapi memilih untuk menjaga keseimbangan hidup.
Fenomena berhenti bekerja secara diam-diam atau quite quitting, yang ditandai dengan upaya minimal dan berkurangnya tanggung jawab di tempat kerja, telah menjadi masalah krusial bagi karyawan, pemberi kerja, dan pemerintah karena jam kerja yang fleksibel dan ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (Öztürk, et al., 2023).