'Entrepreneurial Spirit' dan Demokrasi Ekonomi

Ilustrasi - Pasukan Komando Pasukan Katak (Kopaska) TNI-AL membongkar pagar laut di kawasan Pantai Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (22/1/2025)-Muhammad Iqbal/agr/aa-ANTARA FOTO

Ketika publik ramai memperbincangkan kasus pagar laut, muncul reaksi bahwa kasus itu tidak hanya terjadi di perairan Tangerang, tapi juga di berbagai daerah lain di Tanah Air.

Laksana puncak gunung es yang menjulang tinggi di tengah samudera, monopoli pemanfaatan ruang sebetulnya telah lama terpendam dan dibiarkan.

Kasus itu telah memberikan momentum untuk melakukan koreksi total terhadap penguasaan ruang darat dan laut di berbagai daerah oleh segelintir orang yang melanggengkan oligarki politik-ekonomi, termasuk monopoli lahan yang memangkas kawasan pertanian.

Sawah dan ladang yang dulunya menguning, kini berubah fungsi di banyak daerah. Petani semakin tergeser, bahkan merosot menjadi buruh tani, sementara setiap keluarga petani hanya memiliki tanah 0,5 hektare.

Padahal, menurut berbagai sumber, satu persen penduduk di lapisan teratas menguasai 75 persen lahan di negeri ini, sisanya 25 persen diperebutkan oleh 99 persen penduduk.

Ketimpangan yang sangat mencolok itu adalah potret pengabaian demokrasi ekonomi. Padahal, bumi, air, dan kekayaan alam seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai Pasal 33 konstitusi. Itu berarti, seharusnya UMKM dan koperasi diprioritaskan sebagai soko guru yang kuat bagi perekonomian nasional, cita-cita luhur para bapak bangsa kita yang disadari atau pun tidak, sedang dikhianati.

BACA JUGA:Elon Musk dan Memudarnya Kekuatan Daya Halus Amerika Serikat

Paradigma meluasnya pembagian pendapatan perlu dibalik, untuk menumbuhkan perekonomian dari bawah, agar target pertumbuhan 8 persen yang direncanakan Presiden Prabowo Subianto bisa dicapai secara berkualitas. Sebab target tersebut baru bisa berdampak jika menghadirkan keadilan ekonomi untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat, mengatasi pengangguran, memberantas kemiskinan, dan menghapus kesenjangan sosial.

Perlu pula ada strategi baru untuk menutup kondisi hollow middle, dengan melahirkan sebanyak mungkin pelaku ekonomi kelas menengah yang dapat memperkuat perekonomian dalam negeri.

Di era Presiden Prabowo kita perlu mulai beralih menjadi entrepreneurial society untuk menghadirkan pertumbuhan kualitatif yang menghapus jurang pemisah antara angka-angka statistik yang menghibur dan realitas kehidupan masyarakat yang menyedihkan.

Raymond Wen-Yuan Kao, professor emeritus di Ryerson University mengatakan, "It may take a revolution to gain political freedom, but it only needs entrepreneurship to gain economic freedom.” Dengan prinsip itu, maka kewirausahaan dapat menjadi mesin penggerak perubahan menuju kemandirian dan demokrasi ekonomi, termasuk menggerakkan masyarakat di 75.753 desa di Tanah Air untuk menghasilkan nilai tambah demi meningkatkan kesejahteraan.

BACA JUGA:HPN 2025: Media Instan vs Fakta Jadi Tantangan Pers di Era Digital

Dalam bukunya berjudul "The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty Through Profits", C.K. Prahalad mengatakan bahwa korporasi besar pun dapat menimba manfaat dari pemberdayaan kaum miskin sebagai "pasar laten yang selama ini terlupakan", namun dapat menyerap banyak produk dan jasa dari korporasi besar.

Profesor strategi korporasi pada Universitas Michigan itu juga mengatakan bahwa strategi demikian itu dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, sekaligus mengentaskan kemiskinan, sehingga kaum tertinggal pun dapat memperoleh "perhatian yang bermartabat" dari sektor swasta besar, suatu keuntungan yang sering dinikmati hanya oleh kelas menegah dan atas.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan