HPN 2025: Media Instan vs Fakta Jadi Tantangan Pers di Era Digital

Ajakan menyukseskan Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 yang diselenggarakan PWI Provinsi Riau sebagai tuan rumah pada 6-9 Februari 2025--(ANTARA/HO)

SURABAYA – Tokoh pers Dahlan Iskan pernah mengatakan bahwa kebenaran di masa lalu ditentukan oleh fakta, sementara kebenaran di era digital lebih banyak ditentukan oleh framing. Pernyataan ini ia sampaikan dalam pidatonya di Al-Zaytun, Jawa Barat, pada 20 Mei 2023.

Menurut mantan Menteri BUMN tersebut, fenomena ini menjadi tantangan besar di era digital. Pasalnya, kebenaran yang sebenarnya bukan kebenaran justru bisa dianggap benar jika terus-menerus diulang. Ini membuka ruang bagi berbagai bentuk misinformasi, hoaks, dan manipulasi opini publik.

Di era digital saat ini, kemajuan teknologi berkembang pesat, tetapi tidak selalu diiringi dengan peningkatan literasi digital masyarakat. Teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk menyebarkan informasi justru sering digunakan untuk menciptakan framing, hoaks, peretasan, penipuan, dan berbagai bentuk disinformasi lainnya.

Karena itu, prinsip jurnalisme berbasis fakta harus terus dikampanyekan, terutama dalam momen Hari Pers Nasional (HPN) 2025. Jurnalisme yang mengedepankan akurasi, etika, dan dokumentasi tetap menjadi pilar utama dalam menghadirkan informasi yang kredibel di tengah derasnya arus informasi instan.

Kebenaran yang akurat tetap tak tergantikan oleh media digital, karena framing sering kali jauh dari fakta dan justru menyesatkan. Selain akurasi, aspek etika juga menjadi keunggulan jurnalisme berbasis fakta. Sementara di era digital, banyak media lebih mengutamakan jumlah viewer dan viralitas dibandingkan etika. Padahal, tanpa etika, manusia bisa kehilangan nilai kemanusiaannya.

BACA JUGA:HPN Sebagai Momentum Refleksi UU Pers dan Relevansinya Kini

Dari segi dokumentasi, kebenaran berbasis fakta juga lebih unggul. Informasi di era digital mudah diedit atau dihapus (take down), membuat data bisa hilang begitu saja. Sementara, bukti sejarah yang tersimpan di museum tetap terjaga dan dapat menjadi referensi kebenaran di masa lalu.

Namun, meskipun teknologi digital kerap digunakan untuk membentuk "kebenaran baru" melalui framing, bukan berarti harus ditinggalkan atau dilarang. Justru, era digital membuka peluang besar untuk meningkatkan literasi digital sekaligus mendorong inovasi dalam konvergensi media agar informasi yang disajikan tetap kredibel dan bermanfaat bagi masyarakat.

Kampanye literasi digital menjadi semakin penting karena dunia digital penuh dengan jebakan yang bisa menyesatkan. Salah satu contoh paling nyata adalah judi daring. Banyak orang yang awalnya tidak paham akhirnya kecanduan, tanpa sadar bahwa sistemnya telah direkayasa agar mereka terus mengalami kekalahan. Biasanya, penjudi akan dibuat menang satu atau dua kali di awal, lalu perlahan-lahan mengalami kekalahan beruntun.

Dan itu baru satu dari banyak jebakan di dunia digital. Buku Kesalehan Digital (2023) mengulas setidaknya 12 jebakan digital, termasuk dalam ranah politik dan agama, seperti jebakan radikal digital.

Sebagian besar jebakan ini memanfaatkan permainan logika yang tidak selalu benar, karena mengandung unsur rekayasa atau framing. Dalam framing, sesuatu yang salah bisa terlihat benar jika terus-menerus diulang. Inilah mengapa literasi digital sangat dibutuhkan—agar masyarakat lebih kritis dalam menyaring informasi dan tidak mudah terjebak dalam logika yang menyesatkan.

BACA JUGA:Muhammadiyah Serukan Pers untuk Jaga Etika dan Integritas Jurnalistik di HPN 2025

Media Instan dan Literasi Digital

Kemunculan platform digital awalnya menimbulkan kegelisahan di kalangan pers, terutama karena masyarakat mulai beralih ke media digital untuk mendapatkan informasi. Pergeseran ini menyebabkan penurunan jumlah pemirsa televisi dan menurunnya oplah media cetak secara drastis.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan