Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia di Era Trump
Presiden Amerika Serikat Donald Trump-Anadolu/py-ANTARA
Varian faktor yang berkontribusi pada ketidakpastian ini termasuk kebijakan moneter AS yang ketat, ketegangan geopolitik yang belum mereda -- seperti konflik di Timur Tengah dan Laut China Selatan — serta perubahan kepemimpinan politik di banyak negara, termasuk transisi baru di Indonesia dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto.
Bank Indonesia (BI) berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, meski dalam tekanan, melalui intervensi di pasar valuta asing dan koordinasi dengan pemerintah serta pelaku pasar. Sebaliknya, pelemahan rupiah membawa konsekuensi bagi perekonomian domestik, terlebih biaya impor dan inflasi.
BACA JUGA:Memperkuat Kemitraan Strategis dengan India
Rupiah yang melemah langsung meningkatkan biaya impor barang dan jasa. Dengan total impor mencapai 18,44 miliar dolar AS pada Februari 2024, sebagian besar terdiri dari barang konsumsi dan bahan baku industri. Sekitar 80 persen dari total impor yakni bahan baku dan barang modal, yang menyebabkan biaya non-produksi industri manufaktur melonjak.
Kenaikan biaya impor ini potensinya menuai inflasi domestik. Harga barang impor yang tinggi sebab pelemahan rupiah meningkatkan tekanan inflasi, berdampak pada barang kebutuhan pokok seperti beras dan gula, yang bergantung pada impor.
Menghadapi problem akibat pelemahan rupiah, pemerintah dan Bank Indonesia perlu mengambil kebijakan strategis untuk mengurangi dampak negatifnya.
Beberapa usaha yang dilakukan meliputi penguatan kebijakan stabilisasi nilai tukar oleh Bank Indonesia, penyiapan revisi PP 36 Tahun 2023 yang mengatur kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam, serta penguatan insentif pajak bagi industri domestik untuk mendorong produksi dan investasi.
Adaptasi Indonesia
Ketergantungan Indonesia pada pasar ekspor Amerika Serikat jadi riskan, terlebih dengan rencana kebijakan proteksionisme oleh Presiden Donald Trump. Untuk mengurangi ketergantungan ini, Indonesia mesti memperluas pasar ekspornya. Pemerintah menargetkan kenaikan ekspor sebesar 7,1 persen pada tahun 2025 dengan strategi ekspansi pasar dan membuka akses ke pasar internasional.
BACA JUGA:Bahaya Fatherless Terhadap Tumbuh Kembang Remaja
Langkah yang diambil yakni memperkuat kerja sama dengan negara-negara non-tradisional misalnya Afrika dan Timur Tengah. Pertumbuhan ekonomi yang stabil di Afrika dan meningkatnya permintaan produk halal di Timur Tengah menciptakan peluang bagi produk Indonesia, utamanya di sektor makanan dan minuman, tekstil, serta elektronik.
Indonesia memanfaatkan secara optimal kerangka kerja sama ekonomi regional, terlebih lewat ASEAN dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). RCEP, sebagai perjanjian perdagangan terbesar di dunia, menawarkan peluang untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan memperluas akses pasar. Tentunya bisa mendorong pengembangan industri dalam negeri melalui peningkatan investasi dari negara-negara RCEP.
Agar bersaing di pasar global, industri Indonesia perlu meningkatkan daya saingnya. Strategi pemerintah yakni melalui standardisasi industri, yang mendukung peningkatan daya saing industri prioritas nasional. Hal ini sejalan dengan Astacita Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
Meski upaya diversifikasi pasar ekspor dilakukan, Amerika Serikat tetap menjadi mitra dagang. Oleh sebab itu, diplomasi ekonomi yang kuat untuk mempertahankan akses pasar AS, memang perlu.
BACA JUGA:100 Hari Kerja Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana Alam
Pemerintah kudu menguatkan negosiasi perdagangan, termasuk memperbarui fasilitas Generalized System of Preferences (GSP), agar komoditas ekspor Indonesia tetap mendapat akses ke pasar AS tanpa hambatan.