Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia di Era Trump

Presiden Amerika Serikat Donald Trump-Anadolu/py-ANTARA

Perang dagang antara AS dan China berakibat pada harga komoditas global, yang imbasnya pada ekspor Indonesia. Sebagai pengekspor utama minyak sawit, karet, dan batu bara, Indonesia rentan pada fluktuasi harga.

BACA JUGA:Mari Berandai-andai Jika Tiba-tiba 1 Dolar AS Setara Rp8.170

Tarif AS pada China mengurangi ekspor Indonesia melalui China sebesar 330 juta dolar AS, apalagi tarif China pada AS menurunkan ekspor Indonesia lewat AS sebesar 40 juta dolar AS. Kebijakan Trump ini memicu ketidakstabilan harga komoditas global, yang berdampak bagi Indonesia.

Dalam menghadapi persoalan ini, Indonesia mesti melakukan diversifikasi pasar ekspor dan meningkatkan nilai tambah produk komoditas. Selain itu, memperkuat diplomasi ekonomi untuk mempertahankan akses pasar di tengah ketidakpastian global menjadi kebijakan yang harus diambil.

Sektor Indonesia

Industri TPT Indonesia, yang menjadi tulang punggung ekspor non-migas, kini tertekan. Meski volume ekspor produk tekstil meningkat 7,34 persen pada triwulan I 2024, kendala tetap ada. Salah satunya yakni persaingan dengan produk impor murah dan pakaian bekas.

Untuk mendukung pertumbuhan industri domestik, pencegahan konsumsi pakaian bekas dan pengawasan pada barang impor mesti ditingkatkan.

BACA JUGA:Alarm Badai PHK dan Solusi Ekonomi Indonesia

Sementara itu, industri alas kaki juga berfluktuasi. Meski data mengungkap peningkatan ekspor sebesar 12,56 persen pada periode yang sama, sektor ini menghadapi persoalan. Daya saing produk alas kaki Indonesia pada China berfluktuasi, dan persaingan dengan negara-negara ASEAN semakin ketat, meski nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) menjelaskan potensi yang tinggi.

Sektor elektronik Indonesia kini tertekan oleh fluktuasi permintaan global dan persaingan dari negara-negara dengan biaya produksi lebih rendah. Meski data untuk 2024 belum tersedia, tren historis menunjuk kerentanan.

Industri karet, sebagai salah satu pengekspor utama, juga menghadapi persoalan. Fluktuasi harga karet global dan persaingan dari Thailand dan Vietnam mempengaruhi kinerja sektor ini.

Sementara itu, minyak sawit, komoditas ekspor utama Indonesia, terhambat oleh isu keberlanjutan dan kampanye negatif di pasar internasional. Semua faktor ini menandakan bahwa sektor ini butuh beradaptasi untuk tetap kompetitif di pasar global.

Untuk mengatasi kerentanan sektor tersebut, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan strategis, termasuk kebijakan trade remedies seperti bea masuk anti-dumping dan bea masuk tindak pengamanan sementara untuk melindungi industri domestik dari praktik perdagangan tak sehat.

BACA JUGA:Menguatnya Rupiah di Google dan Ilusi Digital yang Menyesatkan

Selain itu, pemerintah mendorong diversifikasi pasar ekspor. Setidaknya, pertumbuhan ekspor non-migas lebih didorong oleh produk yang sudah ada, bukan oleh diversifikasi produk baru. Hal ini menganjurkan inovasi dan pengembangan produk ekspor baru yang kompetitif agar Indonesia bisa bersaing di pasar global.

Nilai Tukar

Ketidakpastian global terus menekan nilai tukar rupiah. Hingga 23 Januari 2025, rupiah melemah 1,14% di tengah penguatan indeks dolar AS, cerminan investor pada aset keuangan AS di tengah meningkatnya ketegangan politik global.

Tag
Share