Fenomena Content Creator di Media Sosial, Kamu Harus Baca! (Analisis Sosiologis Teori Pierre Bourdieu)
Ares Faujian--
Kedua, modal budaya. Modal budaya mencakup keterampilan, pengetahuan, dan selera yang diakui oleh masyarakat sebagai bernilai. Dalam dunia media sosial, modal budaya bisa berupa kemampuan teknis seperti pengeditan video, kepekaan estetika, atau pemahaman tentang tren budaya pop. Content creator yang memahami kebutuhan warganet dan mampu menyesuaikan kontennya dengan tren terkini cenderung lebih berhasil.
Misalnya, ketika ada kasus Agus Buntung atau lagu yang sedang viral, maka para kreator konten seolah-olah rebutan membuat konten yang bersinggungan dengan hal itu. Hal ini bertujuan terkoneksi dengan penambahan jumlah pengikut dan eksistensi sebagai kreator konten di media sosial.
Ketiga, modal ekonomi. Modal ekonomi berkaitan dengan sumber daya finansial yang dimiliki oleh content creator.
Misalnya, uang yang dimiliki untuk membeli peralatan canggih, yang digunakan untuk produksi video atau modal awal untuk mendanai kampanye promosi dapat memberikan keuntungan kompetitif. Namun, penting untuk dicatat bahwa modal ekonomi tidak selalu menjadi faktor penentu utama. Artinya, ada faktor kreativitas dan inovasi yang lebih dihargai di dunia media sosial.
Terakhir, modal simbolik. Hossain (2022) dalam kajiannnya ”Longing for Symbolic Capital in Toni Morrison’s The Bluest Eye: A Bourdieun Estimation” mengungkapkan bahwa modal simbolik adalah bentuk modal yang mencakup pengakuan dan legitimasi yang diakui secara sosial, yang dapat meningkatkan status atau posisi seseorang dalam masyarakat.
Hossain (2022) menyampaikan bahwa ihwal ini sering kali terkait dengan prestise, kehormatan, dan reputasi yang diakui oleh orang lain. Dalam fenomena kreator konten ini, para influencers atau kreator konten yang memiliki modal simbolik sebagai tokoh tertentu akan lebih mudah menguatkan labelnya di media sosial, sehingga mampu menambah pengikut. Termasuk juga membentuk simbol sebagai content creator.
BACA JUGA:Kontemplasi Jelang 100 Hari Kabinet Merah Putih
Hal ini juga terjadi jika seseorang yang biasa saja bisa konsisten memproduksi karya dan berpenghasilan dari jerih payahnya tersebut. Validasi yang konsisten akan membuat seseorang memiliki modal simbolik dari jenis konten yang ia hasilkan dan keberadaannya sebagai kreator konten di media sosial. Sehingga banyak kita menemukan kreator konten yang semakin banyak. Misalnya, Jess No Limit dan MiawAug sebagai content creator pada ranah game, dan masih banyak lagi pada bidang-bidang lainnya.
Media Sosial Sebagai Arena
Bourdieu menggunakan istilah "arena" atau ”field” untuk menggambarkan tempat di mana aktor sosial bersaing memperebutkan modal dan status. Dalam konteks media sosial, platform seperti Instagram dan YouTube dapat dianggap sebagai arena, yang mana content creator berlomba untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan (validasi).
Media sosial ini berfungsi sebagai "field" atau ruang sosial, dimana individu dapat memproduksi dan mendistribusikan makna (Rewindinar, 2024). Di arena ini, mereka menggunakan modal yang mereka miliki untuk mencapai posisi yang lebih tinggi.
Namun, tidak semua orang memiliki akses yang sama ke modal-modal tersebut. Content creator dari latar belakang yang lebih kaya berpotensi memiliki keunggulan dalam hal modal ekonomi. Di sisi lain, mereka yang berasal dari budaya atau kelompok tertentu akan memiliki modal budaya yang lebih relevan untuk audiens tertentu pula. Dengan demikian, ketimpangan sosial yang ada di dunia nyata acap kali tercermin dalam dunia digital.
Habitus Digital dan Performa di Media Sosial
Habitus digital adalah adaptasi dari konsep habitus yang diterapkan dalam konteks digital. Ini mencakup pemahaman tentang algoritma, tren platform, dan dinamika interaksi online. Misalnya, seorang content creator yang terbiasa menggunakan Instagram akan memiliki intuisi tentang waktu terbaik untuk mengunggah konten, jenis hashtag atau tagar yang efektif dan kekinian, serta jenis apa atau cara apa untuk berinteraksi dengan audiens guna meningkatkan keterlibatan.
Namun, habitus digital tidak hanya dibentuk oleh pengalaman individu, tetapi juga oleh struktur yang ada dalam platform itu sendiri. Misalnya, algoritma media sosial memiliki peran penting dalam membentuk bagaimana konten didistribusikan dan dikonsumsi. Seorang content creator dengan habitus digital yang kuat akan mampu memanfaatkan algoritma ini untuk keuntungannya, misalnya dengan membuat konten yang disesuaikan untuk mendapatkan visibilitas lebih tinggi.