Ancaman Hukuman Bagi Pelaku Jual Beli Video Syur, Denda Rp 6 Miliar dan Penjara 12 Tahun

Foto ilustrasi -Istimewa-Rawpixel.com

BELITONGEKSPRES.COM - Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi, media sosial telah menjadi ruang dinamis yang memfasilitasi interaksi, perdagangan, dan pertukaran informasi. 

Namun, sisi gelap dari kemudahan ini adalah maraknya praktik jual beli video syur, yang tidak hanya melanggar hukum tetapi juga mengguncang tatanan moral dan sosial.

Sebagai bentuk ekspresi yang menyimpang, jual beli konten dewasa melalui platform digital menunjukkan celah dalam pemahaman masyarakat tentang dampak aktivitas tersebut. Banyak pelaku berargumen bahwa ini adalah urusan pribadi. 

Namun, transaksi ini memiliki konsekuensi luas, termasuk eksploitasi korban, normalisasi perilaku yang merusak, dan pelanggaran terhadap norma yang menjadi fondasi masyarakat.

BACA JUGA:Sekjen PDIP Tersangka KPK, Hasto: Penjara Itu Bagian dari Perjuangan

BACA JUGA:Sekjen PDIP Angkat Bicara Usai Jadi Tersangka KPK, Hasto Bilang Begini

Landasan Hukum dan Penegakan

Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, secara tegas melarang produksi, distribusi, dan transaksi konten pornografi. 

Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi menjelaskan bahwa pelanggar dapat dikenai pidana penjara hingga 12 tahun dan denda hingga Rp 6 miliar. Tambahan aturan dalam UU ITE juga memperkuat larangan terhadap distribusi informasi elektronik yang melanggar kesusilaan.

Meskipun beberapa celah hukum masih bisa diperdebatkan, seperti ketidakjelasan posisi pembeli dalam regulasi eksplisit, penegakan hukum telah mencakup semua pihak yang terlibat, termasuk penjual, pembeli, hingga penyebar. 

Kasus-kasus seperti Dea OnlyFans dan Marshel Widianto menyoroti bagaimana hukum dapat menjerat pelaku, baik individu yang membuat maupun mereka yang menyebarluaskan konten.

Masyarakat perlu memahami bahwa transaksi jual beli video syur bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga bentuk eksploitasi yang memperkuat budaya komodifikasi tubuh manusia. Teknologi digital seharusnya menjadi sarana untuk memperkuat nilai-nilai positif, bukan alat untuk menyebarluaskan perilaku yang merusak.

BACA JUGA:PPN 12 Persen Jadi Polemik, Pemerintahan Prabowo Berikan Ruang untuk Sampaikan Kritik

BACA JUGA:Hasto Nyatakan Siap Jalani Proses Hukum Usai Ditetapkan Sebagai Tersangka

Pemahaman ini membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, platform digital, dan masyarakat luas. Edukasi tentang bahaya konten pornografi serta dampaknya terhadap individu dan komunitas harus terus digencarkan. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan