Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Akhir Polemik Formil UU TNI dan Pelajaran Proses Legislasi ke Depan

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo-Dhemas Reviyanto/aww-ANTARA FOTO

BACA JUGA:Memahami Chilean Paradoks, Mengantisipasi Jebakan Pendapatan Menengah

Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR dinilai telah menyediakan pilihan metode atau sarana partisipasi publik. Mahkamah pun berpandangan tidak ada upaya untuk menghalangi masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam pembentukan UU TNI yang baru.

Sementara itu, mengenai polemik rapat konsinyering Panitia Kerja RUU TNI yang dilaksanakan di salah satu hotel mewah di Jakarta Pusat pada Maret 2025, setelah mencermati risalah rapat, MK mendapati fakta bahwa rapat tersebut ternyata bersifat terbuka untuk umum.

Berkenaan dengan permasalahan dokumen yang tidak dapat diakses, MK menilai, tidak tepat jika dikaitkan dengan pelanggaran asas keterbukaan. Sebab, para pemohon dapat mengakses dokumen RUU TNI melalui laman resmi dan kanal DPR maupun melalui hasil wawancara dengan awak media.

Selain itu, Mahkamah juga tidak sependapat dengan asumsi bahwa pembentuk undang-undang menahan penyebarluasan dokumen UU TNI yang telah diundangkan. Sebab, dokumen tersebut dapat diakses dan diunduh pada laman Sekretariat Negara.

BACA JUGA:Tantangan Pelajar di Era Digital, Cyberbullying!

“Andaipun terdapat kendala dalam menelusuri UU a quo (tersebut) yang telah diundangkan, hal tersebut tidak serta merta menyebabkan proses pembentukan UU a quo cacat secara formil,” ucap Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.

Pelajaran ke depan

Dalam amar putusan, MK memang menolak permohonan para pemohon. Namun, putusan tersebut tidak bulat karena empat dari sembilan hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion.

Hakim Konstitusi Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani pada pokoknya sependapat bahwa pembentukan UU TNI masih belum memenuhi seluruh prosedur legislasi, termasuk di antaranya mengenai partisipasi masyarakat yang dilakukan secara bermakna (meaningful participation).

Suhartoyo menekankan, meaningful participation setidaknya memiliki tiga prasyarat, yakni terpenuhinya hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapatnya.

BACA JUGA:Melihat Urgensi Pemulihan Lingkungan dan Hutan di Indonesia

Sementara itu, Saldi Isra mengatakan keterlibatan masyarakat umum dalam tahap pembahasan UU TNI masih minim. Dia menyoroti tidak terdapat bukti yang meyakinkan mengenai keterbukaan untuk mengakses dokumen-dokumen terkait UU TNI.

Enny Nurbaningsih, di sisi lain, menyebut ketidaktersediaan ruang yang memadai untuk partisipasi publik dalam masa pembahasan serta tidak mudahnya RUU TNI untuk diakses menyebabkan tidak ada jaminan pemenuhan hak masyarakat.

Adapun Arsul Sani mengatakan perlu menjadi catatan bagi pembentuk undang-undang, khususnya DPR, agar pengelolaan laman yang memuat informasi proses legislasi suatu undang-undang dilakukan secara jelas dan sedapat mungkin disampaikan kepada publik.

Keempat hakim tersebut berkesimpulan, MK seharusnya menyatakan UU TNI mengandung cacat formil sehingga harus dilakukan perbaikan dalam kurun waktu dua tahun. (ant)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan