Prospek Target Ambisius Pajak pada RAPBN 2026
ILUSTRASI. Pajak--Business Standard
“Coretax dan pertukaran data (dengan kementerian/lembaga, red) akan makin diintensifkan, karena kami melihat adanya ruang untuk peningkatan,” ujar Sri Mulyani.
Secara umum, rencana pajak pemerintah pada 2026 terbagi menjadi tiga fokus, yakni reformasi struktural, menggali potensi ekonomi tersembunyi (shadow economy), dan mengoptimalkan kebijakan pajak internasional.
BACA JUGA:Memerangi Krisis Karakter: Solusi Pendidikan Masa Kini
Terkait reformasi struktural, strategi yang disiapkan mencakup penyederhanaan aturan dan pemungutan PPh serta pajak natura dan fasilitas. Penyederhanaan juga bakal dilakukan terhadap pajak final sektor informal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Untuk meningkatkan efektivitas pemungutan, pemerintah juga memperluas pelibatan pihak ketiga, termasuk penyelenggara platform digital.
Strategi berikutnya menyoal shadow economy. Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin sependapat buah yang mudah dipetik (low hanging fruit) oleh pemerintah adalah ekonomi bawah tanah (underground economy) yang nilainya diperkirakan mencapai 23,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, ia menilai, menyasar aktivitas ekonomi ini merupakan sebuah kerja keras.
Senada, Fajry juga mendukung keinginan pemerintah menjajaki peluang dari shadow economy. Tetapi, tantangan yang perlu menjadi perhatian adalah menyoal akses data.
“Kunci untuk dapat membuka potensi penerimaan pajak dari shadow economy adalah data dari pihak ketiga. Selain itu, data tersebut haruslah benar-benar reliable (bisa diandalkan) untuk digunakan. Pertanyaannya, apakah pemerintah punya data tersebut?” tuturnya.
BACA JUGA:Menghidupkan Lahan Mati Bernafas Pertanian Modern
Dalam Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026, pemerintah menyebut sedang menyusun Compliance Improvement Program (CIP) khusus untuk shadow economy, termasuk melakukan kajian pengukuran, pemetaan, dan analisis intelijen.
Untuk langkah konkret yang telah diambil, contohnya, integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang efektif terimplementasi melalui Coretax.
Ke depan, pemerintah menyatakan bakal berfokus mengawasi sektor-sektor dengan aktivitas shadow economy yang tinggi, seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan.
Pemanfaatan data pelaku usaha dari sistem OSS Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta pencocokan data dengan pelaku usaha di platform digital yang belum teridentifikasi secara fiskal juga akan menjadi jalur yang ditempuh.
Adapun strategi terakhir terkait kebijakan internasional. Ketentuan pertama yakni terkait Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax) yang dikenakan melalui tiga mekanisme, yaitu Income Inclusion Rule (IIR), Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), dan Undertaxed Payments Rule (UTPR). IIR dan QDMTT sudah diterapkan sejak 1 Januari 2025, sedangkan UTPR baru akan diimplementasikan pada 1 Januari 2026.
BACA JUGA:AI Indonesia: Diatur oleh Etika atau Undang-Undang