Esensi Pajak E-Commerce dan Lompatan Perpajakan Digital Indonesia
Ilustrasi - Petugas pajak daerah memasang alat pemantau transaksi digital (tapping box) di salah satu restoran di Banda Aceh, Aceh, Senin (12/5/2025)-Irwansyah Putra-ANTARA FOTO
Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi digital, pemerintah Indonesia menyadari bahwa sistem perpajakan harus turut berevolusi untuk merespon lompatan perubahan sektor perpajakan yang timbul dari ekositem digital tersebut.
Lahirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 adalah salah satu wujud nyata dari respon adaptif tersebut, dimana regulasi dimaksud bukan sekadar aturan administratif, tetapi bagian dari strategi besar untuk memperluas basis pajak, menciptakan keadilan fiskal, serta menjaga keseimbangan antara inovasi dan kepatuhan pajak di era digital.
Peraturan ini dikeluarkan untuk memberi kemudahan dan kesederhanaan administrasi serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemungutan pajak
Secara garis besar, peraturan itu mengatur tentang penunjukan pihak lain sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh), serta tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh yang dipungut oleh pihak lain atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pedagang dalam negeri melalui mekanisme perdagangan berbasis sistem elektronik (e-commerce/digital platform).
BACA JUGA:Satu Rumah Satu Sarjana Antarkan Asa Mengenyam Pendidikan Tinggi
Intinya, kebijakan ini juga memperkuat peran penyelenggara marketplace sebagai kolektor PPh Pasal 22.
Transformasi digital sendiri telah mengubah wajah perekonomian secara radikal. Pedagang kecil dan besar kini menjual produknya tidak lagi melalui toko fisik, tetapi melalui marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Blibli, hingga platform global seperti Amazon dan TikTok Shop. Volume transaksi yang besar dan berbasis teknologi ini menjadikan e-commerce sebagai sektor yang kaya potensi pajak.
Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan para pelaku usaha digital, termasuk UMKM, tetap membayar pajak dengan tertib tanpa membuat mereka terbebani secara berlebihan. PMK 37 menjadi jawaban melalui pendekatan baru: menunjuk marketplace (Pihak Lain) sebagai pemungut PPh Pasal 22, dan menetapkan tarif ringan, yakni hanya 0,5% dari peredaran bruto.
Manfaat Strategis Aturan Pajak e-Commerce
Kebijakan PMK 37 Tahun 2025 ini menghadirkan sejumlah manfaat strategis yang menjadikannya relevan dan berdampak dalam konteks perpajakan modern.
BACA JUGA:Kemarau Basah Momentum Memahami Tanah Secara Spasial
Pertama, dari sisi keadilan dan kepastian hukum, memberikan perlakuan yang setara kepada seluruh pedagang digital, tanpa membedakan apakah mereka merupakan pelaku usaha besar atau kecil. Dengan menerapkan prinsip proporsionalitas, ketentuan ini menjamin bahwa setiap pedagang dikenai kewajiban pajak sesuai dengan skala usahanya.
Pelaku usaha mikro yang omzetnya masih rendah tetap diberikan perlindungan melalui pembebasan pemungutan pajak, sementara pelaku yang sudah berkembang dikenai pungutan sesuai kapasitas ekonominya. Ini menciptakan ekosistem yang lebih adil dan menghindarkan distorsi di pasar digital.
Kedua, dari aspek administratif, kebijakan ini menciptakan efisiensi yang signifikan. Selama ini, proses pemungutan dan pelaporan pajak seringkali membebani pelaku usaha kecil karena kurangnya pemahaman terhadap aturan perpajakan dan terbatasnya sumber daya. Dengan menunjuk marketplace sebagai pemungut PPh, PMK 37 mengalihkan beban administratif itu kepada entitas yang lebih siap secara teknologi dan sistem.
Marketplace telah memiliki infrastruktur digital, data transaksi yang terekam secara otomatis, dan sistem pelaporan yang lebih tertib, sehingga proses pemungutan pajak dapat dilakukan secara real time, tepat, dan akurat. Hal ini juga membantu Direktorat Jenderal Pajak dalam pengawasan tanpa harus menelusuri satu per satu pelaku usaha digital secara manual.