BELITONGEKSPRES.COM - Rencana Pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan diberlakukan mulai 2025 menuai penolakan keras dari berbagai pihak, termasuk pengusaha, ekonom, dan pengamat kebijakan.
Banyak yang menilai bahwa kebijakan ini tidak tepat, mengingat kondisi ekonomi global yang sedang tidak stabil.
Achmad Nur Hidayat, Akademisi sekaligus Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Jakarta, berpendapat bahwa kebijakan ini berisiko menambah ketidakpuasan sosial.
Ia mencatat bahwa penolakan terhadap rencana kenaikan PPN sudah semakin banyak bermunculan, dan hal ini bisa memicu resistensi yang lebih besar dari masyarakat.
Menurut Achmad, dalam situasi ekonomi global yang tidak pasti, yang dibutuhkan adalah kebijakan yang meringankan beban masyarakat, bukan menambah tekanan melalui pajak yang lebih tinggi.
BACA JUGA:Kenaikan PPN 12 Persen Dinilai Jadi Ancaman Baru Terhadap Daya Beli
BACA JUGA:Zulkifli Hasan Optimis Indonesia Capai Swasembada Pangan pada 2028
Kenaikan PPN ini dikatakan bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, namun Achmad menyoroti bahwa pemerintah seharusnya memanfaatkan potensi penerimaan pajak yang belum maksimal, terutama dari sektor-sektor ekonomi besar yang masih kurang terjangkau.
Alih-alih menaikkan pajak, menurut Achmad, pemerintah harus fokus pada memperluas basis pajak dan meningkatkan efisiensi dalam pengumpulan pajak. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan pengurangan pengeluaran untuk proyek-proyek yang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat, guna menjaga efisiensi anggaran.
Achmad juga memperingatkan bahwa kenaikan PPN berpotensi menambah inflasi, yang bisa mengurangi daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan investasi. Investor yang melihat ketidakpastian ekonomi bisa jadi enggan menanamkan modal di pasar yang terpengaruh oleh inflasi dan penurunan daya beli.
“Pemerintah seharusnya berfokus pada reformasi fiskal yang lebih cerdas dan tidak hanya mengandalkan peningkatan pajak,” tambah Achmad. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang tidak membebani masyarakat kelas menengah, yang selama ini menjadi pilar utama perekonomian Indonesia.
BACA JUGA:Wamenaker Immanuel Ebenezer Komitmen Lindungi 50.000 Buruh Sritex dari Ancaman PHK
BACA JUGA:Impor Susu Meningkat 7,07 persen Dibanding 2023, Capai 257 Ribu Ton hingga Oktober 2024
Menurut Achmad, jika kebijakan ini diteruskan tanpa mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh, maka kebijakan tersebut justru bisa menjadi bumerang yang melemahkan daya saing ekonomi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah harus mencari alternatif yang lebih inovatif dan adil untuk memperbaiki keadaan keuangan negara tanpa membebani masyarakat yang sudah mengalami tantangan ekonomi. (dis)