Pidato Presiden Prabowo Subianto saat pelantikannya di hadapan sidang MPR RI, jika dilihat dari isi maupun bagaimana hal tersebut disampaikan, memiliki bobot tersendiri. Mungkin ada pro dan kontra di sini, terkait bagaimana menilai pidato tersebut. Namun demikian, jika dilihat sebagai pidato perdana sesaat setelah pelantikan, maka dapat diduga bahwa apa yang disampaikan adalah suatu manifestasi dari keinginan kuat yang telah lama terpendam.
Publik yang kerap mendengarkan pidato di masa kampanye, tentu tidak bisa disalahkan jika bersikap pesimistis. Namun karena pidato disampaikan di forum resmi dan merupakan pesan yang disampaikan oleh Presiden RI, bukan hanya di hadapan sidang MPR RI dan tamu undangan, melainkan di hadapan dunia karena disiarkan secara langsung, pidato tersebut merupakan pesan politik yang pada waktunya akan tiba sebagai kebijakan publik.
Dalam kerangka itulah, pidato Presiden Prabowo, seperti memanggil "kembali", apa yang mungkin telah terjalan di luar jalur, menyimpang atau bahkan lebih buruk dari itu. Jika demikian, masalah yang segera muncul adalah apakah gerak “kembali” dimungkinkan di tengah dunia yang melaju cepat? Andaikata dimungkinkan, lantas apa yang sesungguhnya dapat dijadikan rujukan dalam menilai situasi dan merancang masa depan? Pada titik inilah, kita memandang pentingnya "kembali" kepada gagasan Indonesia yang berkembang sejak awal abad XX.
Indonesia
BACA JUGA:Kandidat Pilkada 2024 Berburu Tuah Jokowi
Keadaan hidup rakyat yang terus merosot, baik jika ditinjau sejak perang Jawa hingga akhir abad XIX, telah menimbulkan ragam reaksi di kalangan pejuang kemerdekaan, khususnya di kalangan angkatan muda. Pledoi Bung Hatta pada Maret 1928, yang berjudul "Indonesia Merdeka", dan peristiwa politik sebelumnya pada 1925, memperlihatkan dengan jelas apa yang diyakini akan tiba, yakni Indonesia Merdeka. Soalnya adalah apakah atau siapakah itu Indonesia? Hal yang barangkali paling jelas adalah bahwa penguasa kolonial keberatan dengan nama Indonesia.
Sumpah Pemuda/i, dalam hal ini dapat dipahami sebagai peristiwa yang memperjelas sosok Indonesia lewat tiga poin pokoknya yakni tanah air, bangsa dan bahasa. Jika boleh disederhanakan, maka peristiwa tersebut merupakan momen terbentuknya suatu bangsa, yang diinisiasi oleh generasi baru. Apabila periode sebelumnya, mulai akhir abad XIX hingga awal abad XX, adalah gerakan peristiwa yang menghadirkan jiwa Indonesia atau suatu cita-cita luhur, maka 28 Oktober 1928, adalah kejadian formil, yang akhirnya memberi badan wadag bagi spirit emansipasi bernama Indonesia
Hal yang penting untuk mendapatkan perhatian lebih adalah bahwa bangsa yang baru lahir tersebut, berada di dalam tata kolonial yang tidak menghendaki kelahirannya. Pleidoi Bung Karno di hadapan pengadilan kolonial pada 1930, dapat dikatakan menjadi saksi bagaimana ketegangan antara dua entitas yang berlawanan kepentingan. Sebagaimana Bung Hatta, Bung Karno juga tidak menempatkan peristiwa atas pribadinya adalah peristiwa personal, melainkan peristiwa politik atas sebuah bangsa. Dan mungkin, karena itu pula, Bung Karno menulis: "… selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya."
BACA JUGA:Menjaga Kelancaran Pendistribusian Demi BBM Satu Harga di Tapal Batas
Pernyataan tersebut laksana sebuah formula, yang menjelaskan bahwa tidak mungkin keadaan berpihak pada rakyat, jika rakyat tidak memiliki kendali atas kekuasaan dan pergerakannya. Oleh sebab itulah, kemerdekaan menjadi kemutlakan. Teks Proklamasi, dalam batas tertentu, dapat dikatakan sebagai manifestasi dari formula tersebut. Dalam teks, tidak hanya memuat pernyataan merdeka (bebas dari), akan tetapi juga “pemindahan kekuasaan”, dengan sesegera mungkin dan dengan cara yang tepat.
Apa yang akan terjadi setelah pernyataan kemerdekaan? Bung Karno menyampaikan: "Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada suatu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita!" Suatu peristiwa sangat penting terjadi: penyusunan sebuah negara.
Kenyataan
Apakah dengan berdirinya negara, maka dengan sendirinya kekuasaan yang ditunjuk teks proklamasi sebagai peristiwa "pemindahan kekuasaan", telah secara langsung dapat diambil sepenuhnya? Atau, apakah seluruh kekuasaan dengan itu telah berada di tangan negara, dan negara itu sendiri ada di dalam (kendali) kekuasaan bangsa, sebagaimana maksud formula Bung Karno? Masalah ini penting diajukan, karena akan diperoleh "lensa kritis" dalam melihat dinamika sejarah yang berkembang pada waktu itu.
Dua kemungkinan dapat saja terjadi. Satu, suatu keadaan ideal dimana kekuasaan telah sepenuhnya ada dalam negara dan seluruh gerak negara ada dalam kendali rakyat atau bangsa Indonesia. Jika keadaan ideal ini yang berjalan, maka dapat dipastikan kekayaan negeri akan dikelola untuk kemakmuran rakyat, dan tidak ada lagi isu kebocoran, korupsi dan berbagai aspek yang merupakan kolonial. Bukan itu saja, negara akan mampu membawa bangsa kepada derajat kehidupan yang tinggi.
BACA JUGA:Hidup Bersama Gelap, Sehat Berkat PLN
Dua, suatu keadaan kurang ideal, dimana kekuasaan telah sepenuhnya ada di dalam negara, namun tidak sepenuhnya gerak negara ada dalam kontrol rakyat. Dalam hal ini, kita dapat menghadirkan peringatan Hatta pada sidang BPUPK (15/7/1945) yang khawatir adanya kekuasaan negara di dalam negara: " … janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan." Apa yang dikhawatirkan adalah negara menjadi kekuatan tidak sejalan dengan kehendak rakyat.
Pada titik inilah publik seperti mendapatkan pencerahan, tatkala Presiden Prabowo mengatakan: "Marilah kita berani mawas diri, menatap wajah sendiri, dan mari berani memperbaiki diri sendiri, berani mengoreksi diri kita sendiri." Mengapa melihat kenyataan membutuhkan jenis keberanian tertentu?