JAKARTA - Dalam hitungan bulan, nasib Kurikulum Merdeka akan terjawab. Pertanyaan besarnya, apakah kurikulum ini akan dipertahankan atau justru dirombak, seperti yang sudah sering terjadi pada kebijakan pendidikan di Indonesia, terutama saat terjadi pergantian kepemimpinan.
Di balik pergantian kebijakan yang seolah tidak berkesudahan, guru, kepala sekolah, orang tua, dan siswa adalah kelompok yang paling sering terkena dampaknya. Dalam setiap perubahan, waktu dan tenaga terkuras untuk beradaptasi, namun sebelum hasilnya benar-benar terlihat, kurikulum bisa saja berubah lagi. Apakah kita akan mengulangi pola yang sama?
Sebagai seorang pendidik dan peneliti yang tengah menyelesaikan disertasi PhD tentang pengembangan kurikulum sekolah dalam konteks Kurikulum Merdeka, penulis merasakan dilema ini secara langsung. Di lapangan, kurikulum yang dijalankan ini telah membawa beberapa dampak positif bagi sekolah-sekolah dasar negeri.
Masih teringat jelas sebuah pagi saat penulis mengunjungi sebuah sekolah dasar di tengah kawasan permukiman kumuh di kota besar. Untuk sampai ke sana, penulis harus menggunakan ojek motor karena mobil tidak bisa masuk. Sekolah tersebut berada di tengah-tengah permukiman padat, hampir tersembunyi di antara gang-gang sempit dan deretan rumah-rumah tua yang berdempet. Saat tiba di sana, penulis disambut oleh kepala sekolah yang bersedia menyisihkan waktunya untuk diwawancara.
BACA JUGA:Diplomasi untuk Kemanfaatan Ekonomi Indonesia Ala Joko Widodo
"Kami dulu tanpa pagar," ucapnya, sambil tersenyum. "Anak-anak bisa keluar masuk sekolah seenaknya, guru-guru pun sering kali langsung pulang karena merasa tidak aman." Lingkungan di sekitar sekolah tersebut memang keras.
Di tengah kondisi ini, Kurikulum Merdeka datang sebagai angin segar, karena sekolah tersebut menjadi bagian dari program sekolah penggerak. Dengan intervensi pemerintah, sekolah mulai berubah sedikit demi sedikit. Pagar mulai dibangun, fasilitas sekolah ditingkatkan, dan pendekatan yang lebih intensif dilakukan, tidak hanya kepada siswa, tapi juga kepada orang tua. Kehadiran siswa yang dulunya jarang, kini mulai meningkat. Anak-anak merasa lebih aman dan nyaman di sekolah, bahkan dibandingkan di rumah mereka sendiri.
Hal yang lebih penting dari fasilitas adalah perubahan budaya sekolah. Para guru kini lebih bersemangat untuk melibatkan diri lebih jauh, tidak hanya mengajar, tetapi membangun hubungan yang lebih erat dengan para siswa. Pendekatan personal kepada keluarga siswa juga diterapkan, membantu mereka memahami pentingnya pendidikan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Perlahan-lahan, komunitas sekolah ini mulai pulih, mengatasi stigma dan tantangan-tantangan yang ada.
Cerita lain datang dari sebuah sekolah dasar di perbukitan yang jauh dari keramaian kota. Akses ke sana juga tidak mudah, namun kepala sekolah di daerah itu mengisahkan dengan penuh semangat bagaimana program sekolah penggerak telah mengubah pola pikir guru dan siswa. Kini, pembelajaran tidak lagi terkungkung di dalam kelas, tetapi lebih memanfaatkan lingkungan sekitar.
BACA JUGA:Urgensi Program Makan Bergizi Gratis bagi Indonesia Emas 2045
Sebagai contoh, anak-anak terlibat dalam proyek pembuatan gula aren, yang tidak hanya mengajarkan keterampilan praktis, tetapi juga ada nilai ekonomi dan budaya lokal. Orang tua pun mulai terlibat, mendampingi anak-anak dalam berbagai kegiatan. Kehadiran mereka bukan sekadar formalitas, melainkan menjadi bagian integral dari pendidikan anak-anak mereka.
Dari kisah-kisah ini, tampak bahwa keberhasilan Kurikulum Merdeka sangat bergantung pada intervensi yang tepat sasaran dan kepemimpinan kepala sekolah yang kuat (strong instructional leadership) di sekolah. Program ini memberikan fleksibilitas lebih kepada kepala sekolah untuk menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan lokal, memungkinkan sekolah-sekolah di berbagai kondisi sosial ekonomi untuk berkembang sesuai potensi mereka.
Namun, fleksibilitas ini juga menjadi tantangan tersendiri. Sekolah dengan kepala sekolah yang memiliki kemampuan kepemimpinan kuat dan visioner dapat berkembang lebih baik, sementara yang kurang kuat justru berisiko mengalami kemunduran, sehingga memungkinkan terjadi gap yang semakin luas.
Dalam wawancara dengan fasilitator sekolah penggerak dan pengawas sekolah, terungkap pentingnya kualitas sumber daya manusia, khususnya kualitas kepemimpinan kepala sekolah, dan guru yang inovatif dalam menentukan keberhasilan pendidikan.
BACA JUGA:Optimalisasi Pemanfaatan Dana Bagi Hasil untuk Kesetaraan Pembangunan