Presiden Jokowi berupaya menegaskan supaya konflik diakhiri dengan pendekatan yang diamini semua pihak dan bukan melalui solusi sepihak semata.
Terkait konflik Rusia-Ukraina, misalnya, Indonesia memutuskan abstain dan tak menandatangani Komunike Bersama dari konferensi tingkat tinggi (KTT) perdamaian Ukraina di Swiss pada pertengahan Juni 2024.
Kementerian Luar Negeri RI saat itu menyatakan bahwa Indonesia memandang komunike tersebut akan “lebih efektif apabila disusun secara inklusif dan berimbang”. Pasalnya, Rusia tidak disertakan dalam penyelenggaraan KTT tersebut.
Indonesia pun terus mendorong penyelesaian konflik Myanmar melalui mekanisme Troika ASEAN dan Konsensus Lima Poin, yang salah satu isinya menyerukan dilaksanakannya dialog yang melibatkan semua pihak berkonflik. Hal ini jadi semakin mendesak mengingat Myanmar masih belum menunjukkan komitmennya mengimplementasikan konsensus itu.
BACA JUGA:Apakah AI Mengancam Demokrasi? Dampak Deepfake dalam Politik
Melalui upaya diplomasi nasional yang dipimpin Presiden Jokowi, Indonesia terus menyuarakan penyelesaian konflik melalui dialog dan kesepakatan yang memenuhi harapan pihak-pihak terkait, namun dengan tak lupa untuk terus membela bangsa yang tertindas.
Dengan landasan politik luar negeri bebas dan aktif yang merangkul siapapun, Indonesia pun memiliki kredibilitas yang kuat sebagai negara yang mampu berperan sebagai penengah dalam konflik antara negara maupun regional.
Tak dapat dipungkiri, 10 tahun merupakan waktu yang lama untuk masa kepemimpinan seorang kepala negara. Masa sedasawarsa tersebut bahkan sudah bisa diakui sebagai sebuah era tersendiri.
Selama membaktikan diri bagi Indonesia, keputusan yang ditempuh Presiden Jokowi tak hanya berdampak signifikan bagi pembangunan Indonesia, namun juga bagi pemajuan kedamaian kawasan maupun dunia. (Antara)
Oleh: Nabil Ihsan