Penerapan aturan tersebut dilakukan untuk memulihkan stabilitas keamanan dan mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat sehingga wilayah tersebut tetap menjadi bagian dari NKRI. Dengan pendekatan baru ini diharapkan permasalahan Papua di bidang ekonomi, seperti kemandekan pembangunan, rendahnya taraf hidup dan PDB, hingga persoalan komoditas kebutuhan masyarakat, dapat teratasi.
Presiden Jokowi memang memberikan afirmasi lebih atas Papua. Selama 2014--2021, dana otsus yang digelontorkan ke Papua sebesar Rp42,89 triliun, atau lebih dari Rp5,36 triliun setiap tahunnya. Pada periode yang sama, dana otsus di Papua Barat juga naik signifikan mencapai Rp18,35 triliun, atau rata-rata sebesar Rp2,29 per tahun. Anggaran untuk kedua provinsi itu, belum termasuk Dana Tambahan Infrastruktur (DTI), data Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), serta belanja kementerian atau lembaga, yang jumlahnya juga mencapai triliunan.
Besarnya jumlah anggaran yang diberikan pada Papua menunjukkan atensi spesial Pemerintah terhadap Bumi Cendrawasih. Otsus masih menjadi langkah strategis untuk pembangunan di Papua karena membuka ruang bagi orang asli Papua (OAP) berperan di pemerintah daerah, menjadi panduan dalam pembangunan SDM, ekonomi, dan infrastruktur di wilayah Papua.
Perubahan struktural juga dilakukan Pemerintah dengan pemekaran Papua pada tahun 2022 yang terkandung dalam UU 14/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, UU 15/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, UU 16/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan, dan UU 29/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Jika ditambahkan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, berarti terdapat enam provinsi di seluruh wilayah Papua.
BACA JUGA:Peparnas 2024, Ajang Mencari Paralimpian Baru
Adanya daerah otonomi baru itu diharapkan memudahkan jangkauan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat, menimbang kondisi geografis Papua yang sangat luas. Daerah otonomi baru juga akan membuat pembangunan lebih fokus, rentang kendali lebih dekat, eksistensi maupun peran wilayah adat dan budaya di setiap wilayah dapat diperkuat. Otonomi baru diharapkan juga menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, serta membuka lapangan kerja baru. Alhasil, kebijakan ini dapat mempercepat kesejahteraan OAP.
Pembangunan di Papua era Presiden Jokowi
Melalui sumber-sumber pendanaan yang ada, pemerintahan Jokowi telah menyelesaikan pembangunan infrastruktur di wilayah Papua seperti jalan, jembatan, bandara, air bersih, listrik, rumah sehat layak huni, kesehatan, pendidikan, pelabuhan laut, hingga pos lintas batas negara (PLBN).
Capaian besar pembangunan infrastruktur di Papua, antara lain, Jalan Trans Papua telah rampung 3.462 kilometer dan jalan di perbatasan antara Indonesia (Papua) dengan Papua Nugini 1.098 km per Maret 2023, Stadion Lukas Enembe, Pelabuhan Peti Kemas Depapre, Bandara Siboru dan Bandara Doue Aturere, perbaikan Bandara Wamena, dan 15 PLBN.
BACA JUGA:Membina Generasi Masa Depan Melalui Transformasi Digital Pendidikan
Seluruh infrastruktur tersebut dibangun untuk mempermudah alur barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan masyarakat, mengurangi biaya, dan meningkatkan perputaran uang.
Salah satu pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) juga ditetapkan Pemerintah di Papua, tepatnya di Sorong. Berdasarkan perhitungan Kementerian Ketenagakerjaan dan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), KEK Sorong sudah menyerap 100 tenaga kerja dengan investasi Rp254 miliar pada triwulan III-2023. Walaupun terbilang kecil, keberadaan zona ekonomi khusus itu akan memberikan dampak terhadap sektor pengelolaan air, pengelolaan sampah, limbah daur ulang, industri pengolahan, dan real estate.
Demi mempertahankan status sebagai KEK, direncanakan bakal dibangun smelter nikel dan pabrik pembuatan baja dengan menggunakan metode ekonomi hijau oleh investor asal China di Sorong dengan perkiraan nilai investasi Rp75 triliun dan kebutuhan tenaga kerja sekitar tiga ribu orang.
Tercatat, pengeluaran per kapita disesuaikan di Papua selama periode 2014--2023 sebesar Rp6,41 juta menjadi Rp7,56 juta per tahun, Tingkat pengangguran terbuka (TPT) 3,44 persen per Agustus 2014 menjadi 5,81 persen per Februari 2024, tingkat kemiskinan 27,8 menjadi 26,03 persen, dan pertumbuhan ekonomi dari 3,25 persen menjadi 4,37 persen yoy per triwulan II-2024.
Di Papua Barat, pengeluaran per kapita naik signifikan dari Rp6,94 juta menjadi Rp8,4 juta per tahun, TPT 5,02 persen per Agustus 2014 menjadi 4,31 persen per Februari 2024 (pasca-pemekaran), tingkat kemiskinan 26,26 persen menjadi 20,49 persen, dan pertumbuhan ekonomi 5,38 persen yoy menjadi 21,11 persen yoy per triwulan II-2024.
BACA JUGA:Tak Sekadar Cinta, Melestarikan Batik Juga dengan Membatik