Papua adalah tanah "kesayangan" Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Rasa cintanya pada Papua, kata Staf Khusus Presiden asal Papua Billy Mambrasar, seperti cintanya pada sang kekasih.
Itu menjadi jawaban, mengapa Presiden Jokowi sering sekali bolak-balik ke Papua. Sudah 18 kali putra Solo itu berkunjung ke Papua selama menjadi kepala negara, yang menasbihkannya menjadi presiden dengan kunjungan kenegaraan terbanyak ke "Island of Gold" itu.
Selama 5,5 dekade berada di pangkuan Pertiwi, memang ada paradoks di Tanah Papua. Papua adalah tanah yang kaya sumber daya, namun sekaligus menjadi wilayah yang paling timpang dan terpinggirkan.
Oleh karena itu, sejak memegang mandat Presiden pada 2014, Jokowi selalu memberikan afirmasi pada Papua, sebagai bagian tak terpisahkan dari janjinya melalui Nawacita. Nawacita merupakan visi, misi, dan program aksi Jokowi-Jusuf Kalla saat berkampanye pada Pemilihan Umum Presiden 2014. Butir ketiga Nawacita menyebutkan, "Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan." Papua adalah salah satu yang dijanjikan menjadi prioritas pembangunan Jokowi.
BACA JUGA:Seni Mendengarkan dengan Empati (Catatan Perjalanan Program APS 2024)
Jokowi menggaungkan Indonesia-sentris sebagai antitesis dari pembangunan yang hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa, atau biasa disebut dengan istilah Jawa-sentris. Jawa-sentris, kata Presiden, terbukti telah menciptakan ketimpangan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), atau lebih tepatnya antara Jawa dan luar Jawa.
Ketimpangan itu tercermin dari distribusi Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional yang sangat jomplang. KBI menopang sekitar 82 persen PDB Nasional, bahkan khusus Jawa-Bali selama ini menyumbang lebih separuh PDB Nasional. Sementara 18 persen sisanya berasal dari KTI. Pada 2021, kondisi sedikit membaik di mana kontribusi KTI naik menjadi 19 persen, sedangkan KBI turun menjadi 81 persen. Ketimpangan kontribusi PDB itu merefleksikan pembangunan pusat-pusat ekonomi selama ini hanya terkonsentrasi di bagian barat Indonesia, terutama Jawa.
Padahal, jika dilihat dari luas kawasan, KTI yang meliputi Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku dan Papua, memiliki luas wilayah yang lebih besar dibandingkan KBI. Luas wilayah KTI secara keseluruhan sebesar 756.741 kilometer persegi, sementara KBI sebesar 616.051 km persegi.
Ketiadaan pusat-pusat ekonomi di Kawasan Timur Indonesia menjadikan wilayah ini menjadi tertinggal, bahkan sebagian masih terisolasi. Pembangunan infrastruktur seret, ketersediaan prasarana dan sarana dasar sosial-ekonomi seperti jaringan telekomunikasi, transportasi, hingga energi listrik, minim. Karena itu, akhirnya banyak wilayah di KTI masuk kategori daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan), istilah yang sesungguhnya merujuk pada wilayah yang termarginalkan.
BACA JUGA:Harapan Rakyat Indonesia untuk Wakil di Parlemen
Efek domino dari ketimpangan itu adalah makin terseoknya kualitas sumber daya manusia (SDM) di Kawasan Indonesia Timur. Khusus Papua, yang notabene menjadi bagian paling timur KIT, ketertinggalan dan perbedaan sosial-budaya di wilayah itu memunculkan ancaman separatisme, terutama dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Papua memang unik sedari awal. Wilayah ini tidak otomatis menjadi bagian Indonesia, pasca-pengakuan kedaulatan Belanda, usai Konferensi Meja Bundar 1949.
Atas alasan memiliki identitas yang berbeda dari kawasan lain, Belanda tidak menyerahkan Papua. Baru setelah melalui Perjanjian New York 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, Papua bergabung dengan Indonesia. Namun, sengkarut politik Papua tidak selesai sampai di situ karena masih terdapat kelompok-kelompok di Papua yang hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dinamika konflik antara Pemerintah Indonesia dan gerakan separatis terus berlanjut, dan bahkan meruncing terutama di era Orde Baru.
Sejumlah Presiden, termasuk Jokowi, berupaya menyudahi konflik Papua, dengan pendekatan baru. Pasca-Reformasi 1998, Pemerintah Pusat menanggapi seruan kelompok prokemerdekaan Papua dengan pendekatan baru, yakni memberlakukan kebijakan otonomi khusus (otsus) terhadap Papua melalui Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001. UU Nomor 35 tahun 2008 yang mengubah UU Otsus Papua kemudian menegaskan pemberlakuan otsus juga diterapkan terhadap Provinsi Papua Barat.
BACA JUGA:Transformasi TNI di Tengah Tantangan Geopolitik