Dugaan mark-up ini juga didukung oleh laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa pada Maret 2024, Indonesia telah mengimpor 567,22 ribu ton beras senilai USD 371,60 juta. Menurut laporan tersebut, Bulog mengimpor beras dengan harga rata-rata USD 655 per ton, yang menunjukkan adanya selisih harga atau mark-up sebesar USD 82 per ton.
"Jika kita merujuk pada harga penawaran dari beras asal Vietnam, maka total selisih harga ini sekitar USD 180,4 juta. Dengan kurs Rp 15.000 per dolar, estimasi selisih harga pengadaan beras impor diperkirakan mencapai Rp 2,7 triliun," terang Hari.
Selain itu, terkait dugaan kerugian negara akibat denda demurrage senilai Rp 294,5 miliar, Hari menjelaskan bahwa kerugian tersebut terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, pada pertengahan hingga akhir Juni 2024.
BACA JUGA:Hasyim Asy'ri Pernah Minta Vincent dan Desta Buat Video Ucapan Selamat untuk Cindra Aditi
BACA JUGA:Pemulangan Jemaah Haji Gelombang Kedua Sebanyak 22 Kloter Dimulai Hari Ini dari Madinah
"Ada informasi yang masih perlu pendalaman lebih lanjut, bahwa keterlambatan bongkar muat yang menyebabkan denda atau demurrage ini disebabkan oleh kebijakan Kepala Bapanas yang mewajibkan Bulog menggunakan kontainer dalam pengiriman beras impor. Kebijakan ini dituding memperlambat proses bongkar muat dibandingkan metode sebelumnya yang menggunakan kapal besar tanpa kontainer," pungkas Hari.
Desakan agar KPK segera bertindak dan investigasi ini menunjukkan betapa seriusnya kasus ini serta dampaknya terhadap perekonomian negara dan kepercayaan publik terhadap pengelolaan impor pangan di Indonesia. (jpc)