BACA JUGA:Hadiri Gala Premiere Film Mawang di NSC Belitung, Erzaldi Rosman Motivasi Para Sineas Terus Berkaya
Selain itu, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan juga menerima barang bukti berupa kendaraan mewah, barang elektronik, emas, dan uang tunai yang nilainya lebih dari Rp 80 miliar.
"Selanjutnya, tim penuntut umum sedang mematangkan susunan surat dakwaan. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat dilimpahkan ke pengadilan," kata Haryoko.
Jaksa Penuntut Umum akan menyusun surat dakwaan kedua tersangka yang akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta untuk disidangkan.
"Insyaallah, mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat dilimpahkan ke pengadilan Pengadilan Tipikor Jakarta," lanjut Haryoko.
22 Tersangka Kasus Korupsi Timah
Sebelumnya, Kejagung RI telah menetapkan total 22 tersangka dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang terjadi antara tahun 2015 hingga 2022. Salah satu tersangka terlibat dalam dugaan perintangan penyidikan.
"Pada Konferensi Pers Kejagung RI tanggal 29 Mei 2024, kami menyimak dengan seksama kasus korupsi ini dengan nilai yang fantastis, mencapai Rp 300 triliun. Sebagai seorang lawyer, kami merasa sangat heran dan bertanya-tanya," ujar Jhohan.
BACA JUGA:Pembayaran Pesangon Tertunda, Kejati Sampaikan Tuntutan Petani Sawit ke Kejagung
BACA JUGA:Kejagung vs Jenderal B, Pertarungan Hukum di Skandal Korupsi Timah
Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20/2001 menyatakan bahwa tindak pidana korupsi, sebagai salah satu perbuatan melawan hukum, merupakan tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
"Lalu timbul pertanyaan, apakah nilai kerusakan ekologis termasuk dalam kerugian negara dalam tindak pidana tersebut? Saya jawab, bisa, tetapi dengan catatan 'jika dipaksakan' atau dalam dialek Bangka, saya menyebutnya 'daripada malu muka alung masukken bai'. Mengapa? Sebab pada pasal 1 ayat 22 UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai," jelas Jhohan.
Nilai kerusakan ekologis sebesar Rp 271 triliun bukan dihitung dari kerusakan akibat kasus korupsi tata niaga komoditas timah tahun 2015-2022, tetapi dihitung berdasarkan kerusakan di Bangka Belitung saat ini. Kerusakan ini telah dimulai jauh sebelum itu, bisa saja pada masa Kerajaan Sriwijaya, kolonialisme, hingga kegiatan illegal mining yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat Bangka Belitung saat ini. Sangat tidak adil jika kerusakan akibat aktivitas pertambangan pada masa Kerajaan Sriwijaya dilimpahkan kepada ke-22 tersangka ini.
"Jika BPKP memasukkan kerusakan ekologis Rp 271 triliun sebagai bagian dari kerugian negara, semestinya BPKP juga menghitung nilai jaminan reklamasi yang telah disetorkan atau dibayarkan ke 6 perusahaan smelter tersebut pada kementerian terkait. Pasal 100 UU Nomor 3/2020 menyatakan bahwa pemegang IUP atau IUPK wajib menyediakan dan menempatkan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pascatambang," tambahnya.
BACA JUGA:Tersangka Kasus Korupsi Timah, Kekayaan Kepala Dinas ESDM Babel Terungkap
BACA JUGA:Polres Bangka Tangkap 8 Penyalahguna Narkoba, Terancam Hukuman 5 Tahun Penjara