Begitu pula, arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat juga berusaha untuk menurunkan inflasi. Suku bunga AS diproyeksi akan turun pada pertengahan tahun ini.
Perubahan cepat dalam dinamika ekonomi global, kata Eisha, dipengaruhi eskalasi perang di Timur Tengah dan konflik Rusia dan Ukraina. Eskalasi global tersebut tentunya mempunyai risiko ekonomi pada Indonesia.
BACA JUGA:Teknologi Geospasial untuk Manajemen Sumber Daya Lahan
Situasi politik global yang tidak stabil, berpotensi mengurangi probabilitas masuknya investasi asing. Di samping itu, adanya kebijakan moneter AS yang cenderung menjaga suku bunga tinggi, dan menyebabkan arus modal keluar dari negara berkembang ke AS.
Berikutnya, menurut Eisha, terjadi pelemahan nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang akibat penguatan dolar AS. Ini berisiko potensial, termasuk penundaan dalam pemangkasan suku bunga AS, US treasury yield (imbal hasil obligasi pemerintah AS) tinggi, dan eskalasi geopolitik global perlu terus dicermati.
Ekonomi domestik rupanya tumbuh 5,1 persen yoy pada kuartal pertama (Q-1) 2024. Sebuah capaian tertinggi untuk triwulan pertama dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Namun, pertumbuhan tersebut, terutama didorong oleh Ramadhan dan konsumsi pemerintah, yang paling utama belanja pemerintah untuk bantuan sosial dan pemilu. Berikut konsumsi rumah tangga selama puasa dan Idul Fitri 1445 Hijriah.
Dengan demikian, Eisha menyayangkan ekonomi domestik belum bisa terdorong oleh kegiatan sisi produksi yang maksimal. Oleh karena itu, program pemerintah baru oleh elected president (presiden terpilih) menjadi fokus penting dari serangkaian program yang dicanangkan oleh pemenang Pilpres 2024.
BACA JUGA:Teknologi Geospasial untuk Manajemen Sumber Daya Lahan
Hal senada juga disampaikan ekonom Universitas Paramadina Dr. Wijayanto Samirin. Kondisi global saat ini, menurut dia, jelas tidak bersahabat bagi Indonesia.
Praktis terdapat beban yang luar biasa berat bagi tumbuh kembangnya ke depan perekonomian nasional. Untuk itu, perlu kemauan kuat dan rencana tepat dari pemerintahan baru. Namun, disadari "kaki-kaki yang dimiliki demikian lemah" dengan gambaran fundamental ekonomi yang agak memprihatinkan.
Pada kesempatan itu ekonom Wijayanto Samirin memberi solusi untuk memperkuat kaki-kaki, antara lain, dengan memperkokoh kolaborasi, memperbaiki konsistensi kebijakan, memperkuat penegakan hukum, dan reindustrialisasi.
Perang Rusia versus Ukraina, eskalasi di Timur Tengah, perang dagang AS vs Tiongkok yang berkepanjangan ditingkahi pelemahan ekonomi AS dengan tren dedolarisasi dan disrupsi suku bunga global. Terakhir, tercatat pula harga komoditas yang berfluktuasi dan menunjukkan tren menurun yang akan berdampak pada harga komoditas nasional.
BACA JUGA:World Water Forum Sebagai Upaya Mencapai Keadilan Akses Air Bersih
Sorotan yang sama juga disampaikan Dr. Handi Risza. Diungkapkan oleh ekonom Universitas Paramadina bahwa dewasa ini dunia sedang dihantui dengan tiga permasalahan utama (triple horror), yakni inflasi tinggi, tingkat suku bunga tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Diperkirakan kondisi tersebut akan berlangsung lama, bahkan akan berdampak pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Perekonomian nasional diprediksi juga mengalami perlambatan.
Amerika Serikat dan Eropa, misalnya, tingkat inflasi masih tinggi. Hal ini memicu Bank Sentral AS (The Fed) dan Eropa menerapkan kebijakan moneter yang ketat, dengan menaikkan tingkat suku bunga.