TikTok ibarat tongkat sihir di era digital. Sekali kibas, seseorang yang tak dikenal bisa mendadak jadi pusat perhatian. Dari anak sekolah hingga ibu rumah tangga, dari penjual takjil hingga tukang parkir, semua memiliki kesempatan yang sama untuk bersinar di panggung maya.
Tanpa perlu audisi atau koneksi, cukup dengan kreativitas dan keberanian, seseorang bisa menjelma menjadi selebriti dalam semalam. Fenomena ini menunjukkan betapa perubahan sosial dalam dunia digital telah merombak struktur ketenaran yang dulunya eksklusif. TikTok memengaruhi gaya komunikasi generasi muda, menjadikannya lebih ekspresif dan kreatif dalam berinteraksi dengan orang lain (Wumbu, 2021), terutama di dunia maya.
Salah satu contoh nyata dari efek sihir TikTok adalah Jeje Slebew. Gadis biasa yang namanya melejit pada pertengahan tahun 2022 ini populer berkat fenomena Citayam Fashion Week (KOMPAS.com, 2022). Keberaniannya tampil di ruang publik dengan gaya khas ucapan ”Slebew” membuatnya viral dan menjadi simbol budaya anak muda perkotaan.
Pada tahun 2024, salah satu bintang yang bersinar adalah Abe "Cekut", seorang anak berusia 3 tahun yang berhasil memenangkan dua penghargaan di TikTok Awards Indonesia 2024 (KOMPAS.com, 2024).
Abe, melalui akun yang dikelola oleh ayahnya, yaitu Christian Benny Hariyanto, berhasil meraih penghargaan untuk kategori "Popular Video of The Year" dan "Rising Creator of The Year" pada Desember 2024. Ketenaran Abe menunjukkan bagaimana konten yang sederhana namun autentik dapat menarik perhatian luas dan mengantarkannya ke panggung nasional.
BACA JUGA:Menjawab Tantangan Pascadefisit APBN Awal 2025
Secara sosiologis, fenomena media sosial ini dapat dijelaskan melalui teori kapital sosial Pierre Bourdieu. Bourdieu (1930–2002) adalah seorang sosiolog Prancis yang dikenal atas kontribusinya dalam memahami dinamika kekuasaan dalam masyarakat (Yüksel, 2019).
Ia mengembangkan konsep kapital (ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik) yang menjelaskan bagaimana individu memperoleh dan mempertahankan posisi mereka dalam struktur sosial.
Pada fenomena TikTok dalam teori Bourdieu, jika dulu modal ekonomi dan modal budaya menjadi syarat utama untuk ketenaran, kini modal sosial—yaitu jaringan dan pengaruh digital—memegang peranan lebih dominan.
TikTok memberi ruang bagi siapa saja untuk mengembangkan modal sosial ini dengan menciptakan tren, berinteraksi dengan audiens, dan memanfaatkan algoritma untuk meningkatkan visibilitas.
Popularitas bukan lagi milik segelintir elite, tetapi sesuatu yang bisa diperoleh siapa saja yang memahami cara kerja platform digital. Desain TikTok membentuk cara pengguna mencari pengakuan dan status melalui jumlah pengikut, likes, dan komentar.
Platform digital (termasuk TikTok) menciptakan proses produksi status, di mana pengguna memanfaatkan berbagai sumber daya untuk meningkatkan posisi sosial mereka (Levina & Arriaga, 2014). Dengan demikian, TikTok tidak hanya menjadi ruang berbagi konten, tetapi juga arena persaingan status yang dipengaruhi oleh fitur desainnya.
BACA JUGA:Refleksi 23 Tahun Pokja Wartawan Belitung: Peran Strategis Jurnalis di Era Informasi
Di balik pesonanya, TikTok juga memiliki efek gelap. Ketika ketenaran datang terlalu cepat, banyak yang tak siap menghadapinya, sehingga mendapat cyberbullying saat mencoba melakukan rebranding, atau ketika membuat konten yang bertolak belakang dengan keinginan netizen. Ketenaran yang didapat dalam sekejap bisa menghilang dengan cepat pula, tergilas oleh tren baru yang terus bermunculan.