#KaburAjaDulu, Pelarian atau Perlawanan Sosial?

Minggu 02 Mar 2025 - 22:38 WIB
Oleh: Ares Faujian

Walaupun mereka yang memilih “kabur” terkadang dicap sebagai pengecut atau tidak mau berjuang. Namun, dalam banyak situasi, pergi adalah langkah yang paling rasional untuk menyelamatkan diri dari lingkaran kekerasan atau manipulasi emosional.

Resistensi Senyap: Kabur sebagai Bentuk Perlawanan

James C. Scott (1985) dalam bukunya Weapons of the Weak menyebutkan bahwa kaum yang tertindas tidak selalu melakukan perlawanan secara frontal. Ada bentuk-bentuk resistensi senyap yang lebih halus, seperti kabur.

Dalam teorinya, Scott (1985) menekankan pentingnya kesadaran sosial dalam memahami perlawanan petani. Dia berargumen bahwa meskipun petani mungkin tampak menerima keadaan mereka, mereka sebenarnya memiliki kesadaran yang kritis terhadap ketidakadilan yang mereka alami. Kesadaran ini sering kali diekspresikan dalam bentuk percakapan "offstage" atau di luar panggung, yang menunjukkan bahwa mereka tidak sepenuhnya terpengaruh oleh ideologi yang dipaksakan oleh elit.

Di dunia pendidikan, misalnya, siswa yang merasa tertekan dengan sistem belajar yang terlalu kaku sering memilih untuk bolos (kabur). Di mata guru dan orang tua, ini berpotensi tampak sebagai kenakalan. Namun, dari perspektif sosiologi, ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang tidak memberi ruang bagi kreativitas, kenyamanan, dan kebebasan belajar.

Begitu juga dalam politik dan sosial. Banyak warga yang “kabur” dari keterlibatan politik bukan karena apatis, tetapi karena kecewa terhadap sistem yang korup, penuh kolusi dan nepotisme, serta tidak memberikan perubahan nyata. Daripada turun ke jalan, mereka lebih memilih kabur dari hiruk-pikuk politik dengan cara tidak ikut pemilu, mengurangi konsumsi berita politik, atau bahkan pindah ke negara lain yang lebih stabil dan menghargai mereka.

Hiperrealitas, Kabur ke Dunia Maya!

Jean Baudrillard, seorang pemikir postmodern, berbicara tentang konsep hiperrealitas, di mana batas antara realitas dan simulasi semakin kabur (Ismatuloh, 2023). Dalam konteks #KaburAjaDulu, ini dapat kita lihat dari banyaknya orang yang melarikan diri ke dunia maya.

Ketika realitas terasa menyakitkan, banyak orang memilih untuk menghabiskan waktunya di media sosial, gim, atau dunia virtual lainnya, bahkan mendapatkan ”cuan” dari sana. Sebagian bahkan lebih nyaman membangun persona digital dibandingkan menghadapi realitas yang menekan. Ini bisa dilihat dari fenomena VTuber, avatar digital yang merepresentasikan seseorang dalam dunia maya, atau tren orang yang lebih memilih berinteraksi di metaverse dibandingkan kehidupan nyata.

Kabur ke dunia maya bukan sekadar hiburan, tetapi juga cara bertahan dalam realitas yang semakin kompleks. Namun, jika tidak terkendali, ini juga bisa menjadi pelarian yang berbahaya, membuat seseorang kehilangan koneksi dengan realitas sejati.

BACA JUGA:Belajar Sejarah Negara di Asia untuk Antisipasi Dampak #KaburAjaDulu

Ketika Kabur Menjadi Solusi, Bukan Pelarian

Banyak yang menganggap bahwa kabur hanyalah cara untuk menghindari masalah. Namun, dalam banyak kasus, ini justru merupakan strategi untuk mendapatkan perspektif baru, merancang solusi yang lebih baik, atau bahkan melindungi diri dari hal-hal yang tidak bisa dikendalikan.

Orang Jepang yang tidak sanggup menghadapi tekanan punya dua cara, menghilang atau bunuh diri (Mada, 2023). Konsep “jouhatsu” atau “menghilang” telah menjadi bagian dari budaya Jepang. Ada orang-orang yang secara sadar memilih untuk pergi dari kehidupannya yang lama. Ihwal ini dilakukan bukan untuk lari dari tanggung jawab, tetapi untuk memulai kembali dengan lebih baik. Ini menunjukkan bahwa kabur bisa menjadi bagian dari siklus kehidupan, bukan tanda kelemahan, tetapi tanda bahwa seseorang sedang mencari jalan yang lebih baik.

Penutup

Fenomena sosial #KaburAjaDulu bukan sekadar tren atau pelarian sesaat, melainkan cerminan dari dinamika sosial yang terus berkembang. Setiap individu memiliki batasnya masing-masing dalam menghadapi tekanan hidup, dan keputusan untuk “kabur” terkadang bukanlah tindakan gegabah, melainkan respons rasional terhadap lingkungan yang tidak lagi memberi ruang untuk tumbung dan berkembang. Baik itu dalam konteks pekerjaan, hubungan sosial, pendidikan, atau bahkan politik.

Fenomena ini menunjukkan bahwa manusia memiliki naluri untuk mencari keadaan yang lebih baik, entah dengan melawan secara diam-diam atau menciptakan dunia baru yang lebih berpihak pada mereka. Seperti halnya ombak yang selalu kembali ke pantai meskipun sempat menjauh ke lautan, manusia pun selalu punya pilihan untuk kembali setelah pergi. 

Kabur bukan sekadar lari, tetapi jeda yang memberi ruang bagi jiwa untuk bernapas, sebelum akhirnya menemukan jalannya kembali dengan lebih kuat dan lebih bijak. Karena ada yang pergi tanpa kembali, namun ada yang pergi untuk kembali. Faktor diaspora di berbagai belahan dunia patut juga dipertimbangkan sebagai kekuatan internal negara di teritorial negara lain, jika mampu memberdayakannya.

*) Ares Faujian, America Field Service (AFS) Global Educator dan Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sosiologi Kabupaten Belitung Timur (Beltim)

Kategori :