SOLO, BELITONGEKSPRES.COM - Pada abad ke-19, Surakarta menjadi saksi lahirnya ruang publik bernama Societeit yang berfungsi sebagai tempat pertemuan sosial dan hiburan. Bangunan ini menjadi simbol interaksi budaya antara bangsawan lokal dan Belanda di era kolonial.
Salah satu Societeit terkenal adalah Societeit Mangkoenegaran, yang mengadopsi perpaduan arsitektur Jawa dan Eropa. Gaya uniknya terlihat dari fasad yang menyerupai stupa candi dan struktur tembok batu khas Jawa Tengah.
Selain sebagai tempat hiburan, Societeit juga menjadi ruang diskusi publik, memperlihatkan peran pentingnya dalam membangun dialog lintas budaya.
Kehadiran Societeit di Surakarta membuktikan bagaimana pengaruh kolonial tidak hanya hadir dalam politik, tetapi juga melebur dalam aktivitas sosial masyarakat.
BACA JUGA:Menko Zulhas Tinjau Gudang Pupuk di Banten, Pastikan Tidak Ada Kendala di Musim Tanam Mendatang
Memasuki abad ke-20, muncul media perlawanan yang merepresentasikan semangat kebangkitan nasional, yaitu surat kabar Sarotama.
Diterbitkan oleh Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1913, Sarotama ditulis dalam bahasa Jawa, Melayu, dan Latin. Surat kabar ini menjadi media penting dalam menyuarakan pergerakan nasional serta perlawanan terhadap tekanan kolonial Belanda.
Beberapa tokoh besar berkontribusi dalam perjalanan Sarotama. Tirto Adhi Soerjo memimpin sebagai pemimpin redaksi awal, dibantu oleh Marco Kartodikromo sebagai editor.
Kemudian, H. Samanhudi, tokoh pendiri SDI, turut membawa pengaruh Sarotama hingga ke Semarang. Surat kabar ini juga dikenal luas sebagai media periklanan bagi pengusaha pribumi, memperkuat perannya dalam mendukung ekonomi rakyat.
BACA JUGA:Diet Sehat: 7 Sayuran Super untuk Kecilkan Perut Secara Instan
Meski akhirnya berhenti terbit pada 1914, Sarotama menjadi bukti nyata bagaimana media cetak digunakan sebagai alat perlawanan dan pencerahan di tengah tekanan kolonial.
Kehadiran Societeit dan Sarotama di Surakarta tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga bukti nyata bagaimana kota ini menjadi pusat interaksi sosial dan perjuangan kemerdekaan.
Kedua elemen ini memperlihatkan bagaimana percampuran budaya dan semangat perlawanan dapat hidup berdampingan dalam sejarah bangsa Indonesia.